Pemohon meminta MK memberi penafsiran Pasal 167 ayat (3) agar tidak diimplementasikan berbeda oleh pengusaha kepada pekerja terhadap uang pesangon

(SPN News) Jakarta, Sejumlah pensiunan bank nasional mengajukan uji materi Pasal 167 ayat (3) UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Mereka adalah Indrayana, Augustinus Kabul Sutrisno, Achmad Syafi’i, Yulias Andrie Yatmo, dan Santen Purba terutama frasa diperhitungkan yang dinilai bersifat diskriminatif, problematik, dan merampas hak pekerja.

Dalam hal pengusaha telah mengikutsertakan pekerja/buruh dalam program pensiun yang iurannya/preminya dibayar oleh pengusaha dan pekerja/buruh maka diperhitungkan dengan uang pesangon yaitu uang pensiun yang premi/iurannya dibayar oleh pengusaha.

Dalam sidang perbaikan, kuasa hukum para pemohon, Nurkholis Hidayat menuturkan Pasal 167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan ini telah merugikan hak konstitusional kliennya dalam hal pembayaran uang pesangon, lantaran PHK karena pensiun. Sebab, sesuai aturan di bank nasional tertentu, bagi karyawan yang pensiun mendapat uang pensiun dan uang pesangon.

Namun, praktiknya, dia menilai Pasal 167 ayat (3) telah menyebabkan multiinterpretasi. Salah satunya diartikan oleh kalangan pengusaha perbankan ketika memahami pengertian uang pensiun dikurangi uang pesangon. Akibatnya, pekerja termasuk pemohon mengalami tidak dibayarnya uang pesangonnya atau uang pesangon mengalami kekurangan yang sangat signifikan, sehingga Pemohon tidak mendapat hak sebagaimana mestinya.

“Bahkan, mengakibatkan para pemohon atau pensiunan berutang pada perusahaan,” kata Nurkholis dalam sidang perbaikan permohonan yang diketuai Arief Hidayat di Gedung MK, (26/6/2018). Arief Hidayat didampingi Suhartoyo dan I Dewa Gede Palguna sebagai anggota majelis panel. Baca Juga: Formula Tepat Melakukan PHK Secara Hukum

Baca juga:  SEPUTAR UPAH dan FAKTOR yang MEMPENGARUHINYA

Nurkholis menerangkan setelah memasuki usia pensiun, pengusaha dan pekerja berkontribusi dalam pembayaran iuran program pensiun dalam prosentase tertentu. Namun, BNI, salah mengartikan frasa “diperhitungkan” menjadi dikurangi. Sehingga rumusan perhitungan pesangon pensiun normal hanya sebatas perhitungan uang pesangon dikurangi besarnya porsi BNI dalam program dana pensiun. Sebab, kebijakan BNI, ketika menerapkan norma ini hanya mengakui program dana pensiunnya hanya dibayarkan oleh pengusaha. “BNI tidak memperhitungkan dan tidak mengembalikan iuran program pensiun yang telah dibayarkan oleh pekerja. Padahal, iuran dari pihak pekerja murni hak dari pekerja yang harusnya dikembalikan utuh oleh pengusaha dalam program manfaat pensiun,” lanjutnya.

“Kontribusi iuran pensiun hilang dan pesangonnya juga hilang karena dikurangi manfaat pensiunnya. Karena manfaat pensiunnya lebih besar daripada uang pesangon. Maka, uang pesangonnya menjadi sangat minus, dan akhirnya dianggap tidak perlu dibayar.”

Menurutnya, seharusnya haknya mendapat pesangon dan juga manfaat pensiun. Dan untuk manfaat pensiun itu seharusnya tidak dikurangi sama sekali atau dikembalikan. Namun, pihak pekerja hanya mendapat selisih dari manfaat pensiun dari pesangon. Misalnya, manfaat pensiun 10 dan pesangonnya 12, maka yang dibayar hanya 2 saja, bukan 12.

Para pemohon meminta frasa “diperhitungkan” harus diterapkan seperti bunyi penjelasan pasalnya. Seharusnya, kata dia, berdasarkan norma pasal yang diuji, harus dihitung terlebih dahulu jumlah pesangonnya, kemudian dihitung juga manfaat pesangon. Lalu dikalkulasikan dan hasil akhirnya selalu nilainya pasti diatas nilai uang pesangon.

Baca juga:  TKA KASAR ASAL CINA KERJA NGEBUBUT DI KABUPATEN BEKASI

“Kita berharap MK memberi penjelasan lebih jelas dari pasal ini agar tidak diimplementasikan berbeda oleh pengusaha kepada pekerja terhadap uang pesangon. Kita minta dimaknai frasa ‘diperhitungkan’ seharusnya dikalkulasikan secara proporsional dan menyeluruh dengan memperhatikan iuran program pensiun pekerja. Dan bukan dikurangi uang pesangonnya,” harapnya.

“Kami memohon Majelis memberi tafsir bersyarat terhadap pasal a quo karena frasa ini jika diperhitungkan seperti mengurangi hak-hak pekerja termasuk para Pemohon. Setidak-tidaknya bertentangan dengan asas kepastian hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945,” jelasnya.

Dalam petitumnya, Pasal 167 ayat (3) UU ketenagakerjaan sepanjang frasa ”diperhitungkan” bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 atau dinyatakan konstitusional bersyarat, sepanjang tidak dimaknai “dikurangkan dan atau hanya boleh berkekuatan hukum sepanjang dimaknai dikalkulasikan secara keseluruhan secara proporsional dengan iuran program dari pihak pekerja.”

Anggota Majelis Panel I Dewa Gede Palguna mengatakan dalam petitum permohonan lebih diljelaskan lagi. “Apa maksudnya ini?”. Ketua Majelis Panel, Arief Hidayat mengatakan bukti P-1 dan P1-4 telah disahkan. “Majelis Panel nanti akan musyawarah dalam rapat RPH apakah dilanjutkan uji materi ini atau langsung diputuskan? Jika tidak masuk sidang pleno, pengujian UU ini akan langsung diputuskan setelah sidang sengketa pilkada,” kata Arief.

Shanto dikutip dari Hukumonline.com/Editor