Kemajuan teknologi yang pesat membuat peningkatan kompetensi angkatan kerja menjadi suatu keharusan
(SPN News) Jakarta, Ketidaksesuaian kompetensi angkatan kerja dengan ketersediaan lapangan kerja masih menjadi persoalan serius di Tanah Air. Kebijakan pemerintah selama ini pun dinilai tak komprehensif dan kerap “tambal sulam”.
Mengutip data Kementerian Tenaga Kerja (Kemnaker), tercatat dari total 128 juta angkatan kerja, terdapat 7,04 juta orang pengangguran terbuka. Jumlah ini berpotensi meningkat, mengingat Indonesia dihadapkan pada revolusi Industri 4.0 yang diprediksi akan menggerus sejumlah pekerjaan dan mengeleminasi angkatan kerja dengan kualifikasi rendah.
Mengatasi kompleksitasnya masalah tersebut, dibutuhkan sinergitas antara kementerian dan lembaga negara dengan dunia industri, serta melakukan re-alokasi dana pendidikan, pelatihan kerja dan memanfaatkan dana “nganggur” demi pengembangan keterampilan angkatan kerja.
Demikian benang merah diskusi bertajuk “Kompetensi dan Jaminan Kerja” di Jakarta, akhir pekan lalu. Hadir dalam kesempatan itu, Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Bob Azam, Direktur Eksekutif International NGO Forum for Indonesia (INFID), Sugeng Bahagijo, Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia, Anton J Supit, dan Dirjen Pembinaan Hubungan Industrian dan Jaminan Sosial Kemenaker, Haiyani Rumondang.
“Harus dimulai dari pendidikan, jangan terlalu banyak teori sehingga menimbulkan mismatch. Bayangkan, SMK (sekolah menengah kejuruan) jumlahnya ribuan, tapi guru produktifnya cuma 30 persen. Artinya, mayoritas yang diajarkan itu teori,” kata Direktur Eksekutif INFID, Sugeng Bahagijo.
Disamping itu, Sugeng juga menyoroti minimnya jumlah dan mutu lembaga pelatihan dan pemagangan. Industri juga belum banyak terlibat dalam perencanaan dan pelaksanaan pengembangan keterampilan.
“Harus ada sinergi dan kemitraan. Misalnya, dari ratusan SMK, minimal 100 SMK wajib bermitra dengan industri. Begitupun dengan BLK (Balai Latihan Kerja). Dengan begitu, dampaknya akan luas dan industri juga akan menerima (tenaga kerja terampil),” ujarnya.
Sugeng menyarankan Indonesia meniru negara-negara maju yang memiliki dana pengembangan keterampilan (Skill Development Fund/SDF). Skema SDF bisa diadopsi dari negara yang dinilai paling berhasil dan cocok dengan kondisi di Indonesia.
“Dana tersebut adalah dana jangka panjang untuk pengembangan keterampilan dan kompetensi, dan sudah sekitar 60 negara menerapkan dana tersebut,” katanya.
Wakil Ketua Apindo, Bob Azam menyatakan, saat ini Indonesia termasuk negara di Asia Tenggara yang dilirik sebagai investasi yang tepat, bersandingan dengan Filipina dan Vietnam. Dengan potensi investasi ini, pemerintah perlu menyiapkan tenaga kerja terlatih dan mengidentifikasikan sektor industri yang paling menyerap tenaga kerja.
Sarannya, pemerintah menambah anggaran untuk meningkatkan kompetensi tenaga kerja dengan keahlian khusus, termasuk merevitalisasi SMK dan BLK di Tanah Air. “Paling tidak butuh Rp30 triliun per tahun, karena angkatan kerja tumbuh 5 persen atau sekitar 3 juta orang setiap tahunnya. Saat ini alokasi anggaran hanya Rp1 triliun,” jelasnya.
Namun begitu, Bob memastikan dunia usaha juga tidak tinggal diam dan membantu pemerintah untuk menciptakan tenaga kerja terampil, baik melalui pelatihan maupun pendanaan.
“Apindo siap memfasilitasi untuk meningkatkan pekerja terampil, yang sesuai dengan kebutuhan bidang usaha masing-masing,” kata Bob, yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Kadin bidang Ketenagakerjaan ini.
Haiyani Rumondang, Dirjen Pembinaan Hubungan Industrian dan Jaminan Sosial Kemenaker mengatakan, tenaga kerja berpendidikan rendah memiliki risiko tinggi tergantikan mesin dengan adanya otomatisasi industri ke depan, yang diprediksi akan menghilangkan 35% jenis pekerjaan konvensional.
Selama ini, upaya pengembangan kompetensi SDM memang belum berbanding lurus dengan kebutuhan industri. Hal ini diperparah dengan perkembangan teknologi yang kian pesat. Namun, Ia mengaku ini menjadi tugas berat pemerintah ke depan. “Tentu kita harapkan industry juga bertanggung jawab, karena cost-nya memang tidak sedikit,” imbuh dia.
Menurut Haiyani, usulan mengenai pembentukan Skill Development Fund (SDF) juga tengah dipertimbangkan pemerintah. SDF ini bisa menjadi solusi, tapi skema sumber pendanaan dipastikan tidak mudah karena harus melalui koordinasi dengan berbagai pihak terkait.
Shanto dikutip Harianterbit.com/Editor