Gambar Ilustrasi
PBNU memberi beberapa catatan terhadap usulan revisi UU JPH, yang sebagian pendapat PBNU terakomodasi dalam RUU Cipta Kerja.
(SPN News) Jakarta, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menyampaikan sejumlah pokok pikiran terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja Sektor Perizinan Berusaha bidang Keagamaan (Jaminan Produk Halal). Dalam hal ini, PBNU dalam keterangan resminya menyebutkan telah berulangkali pendapat terkait persoalan Jaminan Produk Halal yang kemudian dituangkan dalam UU No 33 Tahun 2014 (UU JPH).
Bahkan, baik ketika UU itu masih dibahas di DPR, maupun ketika UU itu sudah disahkan. Terakhir, pada 25 November 2019 yang lalu, PBNU berkirim surat ke Ketua DPR RI terkait dengan Hasil Pleno PBNU di Purwakarta pada 20-22 September 2019.
Dalam surat itu, PBNU menyampaikan pendapat perlunya melakukan revisi terhadap UU JPH. Meski secara filosofis, NU berkeyakinan bahwa segala sesuatu pada dasarnya halal sehingga jelas keharamannya (al-ashlu fil asya’ al-ibahah illa an yadulla ad-dalil ‘ala tahrimihi), dan secara sosiologis masyarakat Indonesia mayoritas muslim sehingga sertifikasi halal itu seperti tahsilul hasil.
Namun, NU juga tidak bisa mengingkari realitas dan politik hukum yang dipilih DPR dan pemerintah dengan mengesahkan UU JPH. Karena itu, PBNU memberi beberapa catatan terhadap usulan revisi UU JPH, yang sebagian pendapat PBNU terakomodasi dalam RUU Cipta Kerja.
PBNU menelaah secara cermat isi RUU Cipta Kerja, terutama yang terkait dengan kemudahan perizinan berusaha dimana JPH menjadi satu kesatuan dengan persoalan perizinan ini, yang di dalamnya ada izin edar, SNI, jaminan produk halal dan perizinan berusaha itu sendiri. PBNU bisa memahami adanya pencabutan dan perubahan beberapa norma UU JPH melalui RUU Cipta Kerja. Perubahan dan pencabutan beberapa norma itu dimaksudkan untuk kemudahan berusaha dan menumbuhkan iklim investasi sebagaimana maksud awal dari RUU Cipta Kerja.
PBNU memberi dukungan dalam RUU Cipta Kerja di mana ada afirmasi kepada pengusaha kecil dan mikro yang diperlakukan berbeda dengan usaha menengah dan besar. Dalam pengurusan JPH, usaha kecil dan mikro dalam sertifikasi halal cukup dengan membuat pernyataan kehalalan barang yang diproduksi. Pedagang gorengan, warteg dan sebagainya cukup menyatakan kehalalan makanan yang mereka produksi, dan itu sudah cukup untuk diberi sertifikat halal.
Hal ini berbeda dengan UU JPH di mana pengusaha mikro dan kecil harus menempuh bikokrasi sertifikasi halal yang rumit. Terkait dengan hal ini, PBNU memberi catatan, harus dipastikan pemerintah melakukan jemput bola dan menfasilitasi sertifikasi halal, dan sistem halal benar-benar satu pintu jenis perizinan yang lain. Selain itu, dalam pengurusan izin usaha, izin edar, SNI dan sertifikasi halal hendaknya ada sinergi sehingga tidak terjadi duplikasi pemenuhan syarat dan pengulangan proses administratif yang mubazir. Demikian halnya, proses sertifikasi halal juga tidak perlu mengulang hal-hal yang sudah dilakukan oleh lembaga POM.
PBNU memahami perubahan norma yang menambahkan “ormas Islam berbadan hukum” yang disebutkan menjadi salah satu mitra kerjasama Badan Pengelola Jaminan Produk Halal (BPJPH), selain Kementerian/Lembaga terkait, LPH (Lembaga Penjamin Halal) dan MUI. Khusus kerjasama BPJPH dan ormas Islam berbadan hukum dilakukan dalam hal penetapan kehalalan suatu produk. Karena itu, hal terkait sertifikasi auditor halal dan dan akreditasi LPH menjadi kewenangan pemerintah (BPJPH), bukan kewenangan MUI sebagaimana ada dalam UU 33 Tahun 2014 dan PP No. 31 Tahun 2019 sebagai pelaksanaan UU JPH. Dengan perubahan tersebut tidak ada lagi monopoli penetapan kehalalan suatu produk oleh Lembaga keagamaan tertentu.
PBNU mendukung gagasan desentralisasi penetapan kehalalan suatu produk asal hal tersebut dilakukan Lembaga-lembaga keagamaan yang kredibel dan dalam kiprahnya terbukti mempunyai kapasitas mengeluarkan pendapat keagamaan.
Apakah hal ini tidak membuka peluang adanya ketidakpastian hukum? Tidak sama sekali. Penetapan halal adalah keputusan profesional sebuah Lembaga yang tidak bisa dicampuri Lembaga yang lain. Ia sejenis putusan hasil “ijtihad” yang tidak bisa dibatalkan oleh “ijtihad” yang lain (al-ijtihad ya yunqadhu bil ijtihad). Hal ini justru bisa membuka peluang pelaku pasar bisa mendapatkan pelayanan sertifikasi yang cepat karena tidak adanya monopoli.
PBNU berpendapat, dalam hal kerjasama BPJPH dengan ormas Islam berbadan hukum tidak perlu ada nama ormas yang disebut secara eksplisit dan yang tidak. Semua ormas yang berbadan hukum harus diperlakukan sama di depan undang-undang, sehingga tidak ada state favoritism terhadap ormas tertentu, seolah ormas yang disebut dalam undang-undang lebih unggul dari yang lain.
PBNU mengusulkan agar pengertian “Produk” di dalam Ketentuan Umum UU JPH diperbaiki dan menjadi satu kesatuan dalam RUU Cipta Kerja. Dalam Pasal 1 UU JPH disebutkan: Produk adalah barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat. Kata “….serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat” terlampau luas dan eksesif yang pada gilirannya justru akan mengganggu iklim investasi.
Beberapa waktu lalu terjadi pergunjingan dalam masyarakat adanya merk kulkas tertentu yang berlabel halal. Kulkas berlabel halal? Bagi kita agak aneh tapi itulah konsekuensi dari pengertian “Produk” dalam UU JPH. Dengan klausul itu, maka semua yang kita gunakan, kita pakai dan kita manfaatkan, termasuk motor, mobil, kereta api, pesawat terbang, MRT, peci, baju, sarung, kursi, meja dan sebagai harus berlabel halal. Apakah begitu? Bagi PBNU, tidak demikian. Hal ini justru akan merusak iklim investasi, sesuatu yang sedang diperbaiki melalui RUU Cipta Kerja.
SN 09/Editor