Gambar Ilustrasi

Pandemik covid-19 menjadi alasan untuk melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) pekerja media.

(SPN News) Jakarta, Posko pengaduan ketenagakerjaan yang dibuka AJI Jakarta dan LBH Pers hingga 28 Juli 2020 telah menerima 110 pengaduan persoalan ketenagakerjaan. Jenis persoalan ketenagakerjaan yang diadukan adalah penundaan upah, pemotongan upah, dirumahkan dengan pemotongan upah, PHK dengan pesangon serta PHK tanpa pesangon. Persoalan ketenagakerjaan itu terjadi di perusahaan media di semua platform, yakni media cetak, daring, televisi dan radio.

Pengacara publik LBH Pers Ahmad Fathanah menjelaskan, dari 110 pengaduan itu tidak serta-merta mencerminkan jumlah korban yang mengalami persoalan ketenagakerjaan. Berdasarkan data dari formulir pengaduan yang disebar secara daring sejak Maret lalu, ada satu pengaduan yang mewakili beberapa orang yang mengalami kasus di perusahaan yang sama. “Jadi ketika dikalkulasi, jumlahnya bisa ratusan kasus,” ujar Ahmad, dalam rilis Aji Jakarta, (29/7).

Kebanyakan perusahaan media berdalih melakukan efisiensi untuk bisa bertahan di masa pandemi. Namun pada saat mendalami lebih lanjut pengaduan yang masuk, fakta yang ditemukan perusahaan media tidak menggunakan mekanisme Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketengakerjaan terkait Pasal 164 serta putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU-IX/2011. Putusan MK itu menyatakan, alasan efisiensi harus dibarengi dengan penutupan perusahaan secara permanen.

“Melakukan efisiensi namun tidak sesuai dengan ketentuan,” kata Ahmad dalam diskusi daring “Menjaga Iklim Pers Yang Sehat Bagi Perusahaan dan Pekerja Media” yang diselenggarakan oleh AJI Jakarta dan LBH Pers, pada (28/7/2020).

Ketua Divisi Organisasi Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Suwarjono mengamini persoalan ketenagakerjaan itu terjadi pada platform media siber. Jono, sapaan karibnya, mengungkapkan hasil survei internal AMSI kepada 320 anggota pada 25 April-5 Mei 2020.

Baca juga:  BERAPA ANGKA REKOMENDASI UMP 2020 DKI JAKARTA DARI DEWAN PENGUPAHAN UNSUR BURUH ?

AMSI menemukan ada empat media melakukan PHK. Selain itu, 20% anggota melakukan pemotongan gaji dan tunjangan hari raya, 15% menunda gaji, dan 80% anggota membatalkan perekrutan karyawan baru.

“Kalau pandemi masih terus berlangsung dan pendapatan juga enggak naik. Bisa saja mereka memikirkan apakah bergabung dengan media lain atau tutup, ini belum tahu,” ujar Jono.

Namun, menurut Jono, lesunya perekonomian tidak ujug-ujug membuat perusahaan media melakukan PHK pekerja media. Bagi dia, dengan adanya work from home (WFH) justru dapat menekan biaya operasional media.

Selain itu, media online harus membangun kolaborasi dengan media daerah dengan menggunakan metode iklan progamatik, yakni transaksi iklan yang berjalan secara otomatis berdasarkan rekam jejak dan dioptimasi dengan teknologi. Ini upaya untuk memperkuat ekosistem media.

“Isu PHK masih terlalu dini kalau dilakukan sekarang ini, karena masih banyak tahapan yang bisa dilakukan oleh berbagai media,” kata Jono.

Senada dengan AMSI, Anggota Dewan Pers Arif Zulkifli menekankan agar perusahaan media tidak melakukan tindakan yang merugikan pekerja media. Perusahaan media harus terbuka dengan menyampaikan kondisi perusahaan kepada pekerja media.

Menurut Arif, ketika perusahan belum bisa mengatasi persoalan kesulitan keuangan maka pilihan terbaik dari yang terburuk adalah dengan membagi “sakit” yang dialami. Misalnya, kesulitan keuangan perusahaan itu dibagi dengan pemotongan gaji kepada seluruh awak perusahaan dari karyawan level atas hingga level bawah. “Akan tetapi dengan berpedoman dengan aturan yang ada,” katanya.

Baca juga:  KADIN DAN APINDO AKAN GUGAT PERMENAKER 18/2022

Anggota AJI Jakarta dalam penelitian yang dilakukan Luviana, ada empat cara perusahaan media melakukan PHK, di antaranya pekerja media yang mendirikan serikat, kritis, tidak sependapat dengan manajemen dan dalam kondisi pandemi.

Luviana menyoroti kasus Nurul Nur Azizah, yang bekerja di Kumparan.com dan mendadak diberitahu bahwa dia masuk dalam daftar PHK bersama pekerja lainnya. Perusahaan berdalih melakukan PHK dengan alasan kesulitan keuangan akibat pandemi. Menurut dia, perusahaan harus terbuka terhadap kondisi keuangannya apabila memang kesulitan keuangan. Kini, Nurul tengah bersiap untuk tahapan Tripartit di Suku Dinas Jakarta Selatan pada 18 Agustus nanti.

“Karyawan selama ini tidak tahu data pemasukan iklan dan keuntungan perusahaan yang diketahui pekerja. Tidak diketahui juga transaksi ekonomi dan politik di media,” ujarnya.

Maraknya PHK pekerja media, menurut Luviana, seharusnya menjadi perhatian Dewan Pers. Dewan Pers harus didorong membuat kebijakan untuk melindungi pekerja media dengan memberikan rekomendasi kepada perusahaan media untuk berhenti melakukan PHK serta mematuhi Undang-Undang Ketenagakerjaan.

“Kalau perlu melakukan intervensi pada proses tripartit serta memberikan rekomendasi dalam perspektif Hak Asasi Manusia,” kata Luviana.

Menurut dia, hal tersebut selaras dengan Peraturan Dewan Pers Nomor 03/Peraturan-DP/X/2019 Tentang Standar Perusahaan Pers. Pasal 18 menyebutkan PHK wartawan dan karyawan Perusahaan Pers dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip kemerdekaan pers. Sementara pasal 19 menyatakan PHK wartawan dan karyawan Perusahaan Pers harus mengikuti Undang-Undang Ketenagakerjaan.

“Dewan Pers harus didesak agar ada perimbangan kepentingan industri pers dan pekerja media. Kenapa Dewan Pers tidak membackup pekerja media yang di PHK semena-mena?” kata Luviana.

SN 09/Editor