(SPN News) Pekerjaan Rumah (PR) Dinas tenaga kerja Kabupaten Lamongan masih sangat banyak, terkait penyelenggaraan besar besaran kegiatan Industrialisasi di Kabupaten Lamongan, selain status pekerja yang umumnya masih berstatus kontrak dan selalu menjadikan pekerja risau, akibat di kontrak pendek, ada yang 3 bulan, ada yang 6 bulan ada yang 1 tahun, hal ini karena pembangunan sistem ketenaga kerjaan di Lamongan, masih dalam tahap membenahan, semoga berangsur angsur semakin baik, terutama terkait penegakan hukum ketenaga kerjaan, terutama yang berhubungan dengan status tenaga kerja.

Selain itu sistem pengupahan, yang tidak melaksanakan penuh amanat Undang-undang No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang di dalamnya mengatur sistem pengupahan, diantaranya yang paling mencolok adalah hampir setiap pekerja di Lamongan tidak dapat menikmati struktur skala upah, suatu penghargaan dari dedikasi dan pengabdiannya yang telah menghasilkan, berbagai keuntungan dan usahanya memajukan perusahaan. Hal ini disebabkan, konsentrasi kita masih berkutat pada wilayah pelaksanaan Upah Minimum Kabupaten (UMK) yang merupakan suatu kebijakan pemerintah untuk memberi perlindungan sosial buat pekerja agar memperoleh upah yang layak, di perusahaan tempat dia bekerja. Yang perlu kita ketahui bersama adalah UMK sesungguhnya adalah, upah untuk pekerja lajang, atau pekerja jombo, yang tidak memiliki tanggungan hidup selain dirinya, tidak memiliki istri atau anak.

Dimana angka-angka dari UMK Lamongan, yang ada di Lamongan saat ini, adalah imbas dari kebijakan penyesuaian Upah, agar tidak terlalu mencolok perbedaan dengan upah pekerja di Ring 1, yang semakin tinggi tingkat kesenjangan upah, implikasi dari pelaksanaan PP No 78/2015, yang “tebang pilih”. Tebang pilih karena perspektif PP No 78/2015, tentang pengupahan adalah penyetaraan UMK se-Indonesia, namun karena pada tahun 2015 tidak dapat dilaksanakan, maka sampai tahun 2019 pun PP No 78/2015 hanya digunakan sebagai dasar untuk mengkonstankan kenaikan upah secara nasional . Selain itu PP No 78/2015 sangat “culas” pada Serikat pekerja, akibat ada semangat untuk memperlemah fungsi serikat pekerja di daerah-daerah kabupaten maupun propinsi.

Selain itu landasan kebijakan tentang UMK, adalah upah untuk pekerja lajang, yang di hitung dari beban hidup atau Kebutuhan Hidup Layak seorang Lajang (Jomblo), yang berupa 60 item komponen, dalam 1 Bulan, yang di sesuaikan dengan inflasi dan pertumbuhan Ekonomi Kabupaten. Dari UMK yang dimaksud tidak pernah mempertimbangkan apabila seorang pekerja, memiliki pasangan atau anak, sehingga pada hal ini apabila perusahaan tidak memiliki Struktur Sekala Upah (SUSU), maka sesungguhnya pekerja dianggap jomblo.

Baca juga:  SAKSI AHLI PEMERINTAH JELASKAN PERBEDAAN PKWT DAN PKWTT DALAM UU CIPTA KERJA

Perlu kerja keras dari disnaker Lamongan, terutama untuk bidang pengawasan, untuk selalu menertibkan perusahaan yang tidak menerapkan UMK, atau perusahaan agar sadar untuk menyusun Struktur skala Upah (SUSU). Semakin Lama pekerja bekerja dalam suatu pekerjaan tentunya upah yang diterima akan semakin besar, karena SUSU bersifat proporsional.

Di Lamongan yang notabennya kabupaten yang sejak 2015, mencanangkan kegiatan Industrialisasi dengan berbasis padat karya, demi untuk menghapus pengangguran, sesungguhnya merupakan kebijakan yang cemerlang, karna pada saat itu negara mengalami perlambatan Ekonomi, maka semakin meningkatkan penghasilan dan peredaran uang di Kabupaten Lamongan akibat pertumbuhan ekonomi, yang berimbas pada peningkatan pendapatan pekerja di Kabupaten Lamongan yang mencapai kurang lebih 16.000 pekerja yang terlibat dalam kegiatan industri, tentu saja mampu memberi pengaruh positif terhadap “roda perekonomian kabupaten”.

Namun sebaik apapun kebijakan itu, jangan sampai menjadi kendala dimasa yang akan datang, akibat kebijakan pengelolaan tenaga kerja, diantaranya Status Kerja, UMK, Struktur Skala Upaha (SUSU). Sebab jika pemerintah daerah tidak menertibkan hal ini, di hawatirkan pada masa mendang akan menjadi problem yang sangat serius. Karena imbas dari sistem pengupahan ini adalah daya beli masyarakat Lamongan.

Jika pada tahun 2015 di asumsikan pekerja Lamongan masih lajang, maka beberapa tahun kemudian akan berkeluarga dan akan beranak pinak, maka sangat ironis, apabila pekerja Lamongan pada masa mendatang penghasilan masih berkutat pada UMK dan dianggap lajang atau jomlo, oleh sebab itu pekerja Lamongan, yang berkeluarga maka sesungguhnya upah UMK merupakan upah yang tidak layak.

Kondisi ini akan merebak di seluruh wilayah Lamongan, yang terimbas kegiatan Industrialisasi, karena UMK dan SUSU yang akan mempengaruhi penghasilan pekerja Lamongan yang mencapai sekitar 16.000 orang di Kabupaten Lamongan, karena beberpa study kasus yang dilakukan penulis terhadap beberapa perusahaan besar di Lamongan, yang menerapkan UMSP, yang awalnya pekerjanya merupakan pekerja tetap, namun karena indikasi dipicu oleh rendahnya penegakan hukum ketenaga kerjaan, sehingga perusahaan membuat skenario memPHK pekerja dan mempekerjakan dengan status kontrak, hal ini sesungguhnya adalah kebijakan yang inskonstitusional.

Baca juga:  KEJAKSAAN AKAN TINDAK PERUSAHAAN YANG BELUM DAFTARKAN PEKERJA PADA JAMINAN SOSIAL

Oleh sebab itu pada kesempatan, ini penulis yang merupakan aktivis Serikat Pekerja Nasional (Organiser SPN Lamongan), berharap agar pemerintah daerah menginisiasi kebijakan dan penertiban UMK dan SUSU di kegiatan Industri di Kabupaten Lamongan. Selain terkait dengan penerapan SUSU, ketegasan Disnaker Lamongan perlu dilakukan adalah mengupayakan agar penerapan Kontrak Kerja dengan alasan masa ujicoba, ditegaskan apabila perusahaan yang melakukan kontrak kerja adalah perusahaan yang permanen hendaknya batasan kontrak dengan alasan uji coba dapat di tindak apabila lebih dari satu tahun namun masih melakukan kontrak kerja, maka sudah selayaknya pekerja menjadi pekerja Tetap.

Berdasarkan analisis penulis, kebijakan kontrak kerja dilakukan perusahaan permanen, dan takut untuk menjadikan pekerja Lamongan berstatus pekerja tetap, adalah karena amanat UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan tentang Pesangon, oleh sebab itu persoalan ini sangat serius, karena penulis khawatir apabila ini tidak di tindak dengan tegas, atau terdapat terobosan kebijakan yang terjadi adalah apabila terjadi krisis, atau kepentingan perusahaan dengan sepihak atau sewenang wenang dapat memPHK karyawan tanpa tanggung jawab sosial, dengan memenuhi hak pekerja dalam hal pesangon.

Jika hal itu dibiarkan maka yang terjadi, pertama adalah banyaknya pengangguran terselubung, akibat kontrak pendek perusahaan terhadap pekerja Lamongan, kedua pekerja tidak memiliki cadangan keuangan selama menjalani PHK, karena dengan alasan putus kontrak atau dengan skenario mengundurkan diri, ketiga kegiatan Industri di Lamongan tidak dapat menjamin peningkatan kesejahteraan atau keamanan ekonomi pekerja dimasa mendatang, keempat akan menjadi problem sosial dimasa yang akan datang.

Ari Hidayat/Editor