Pemohon meminta dicantumkannya keterangan rekam medis dari dokter apabila pekerja memutuskan hubungan kerja karena sakit yang berkepanjangan dalam Pasal 172 UU Ketenagakerjaan
(SPN News) Jakarta, Sidang perdana pengujian Pasal 172 UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan terkait alasan pemutusan hubungan kerja (PHK) karena sakit berkepanjangan. Pemohonnya, Direktur Utama PT Manito World Kim Ham Hyun, sebuah perusahaan garmen di Sukabumi. Bagi Pemohon berlakunya Pasal 172 UU Ketenagakerjaan itu dapat menimbulkan kerugian dan berdampak pada kebangkrutan serta timbulnya kecurigaan antara pekerja dan pengusaha.
Kuasa Hukum Pemohon David M. Agung Aruan menerangkan kliennya merasa dirugikan akibat berlakunya Pasal 172 UU Ketenagakerjaan ini. Sebab, pasal tersebut tidak mengatur ketika pekerja di-PHK dengan alasan sakit berkepanjangan harus membuktikan atau melampirkan rekam medis dari dokter atau keterangan resmi dari rumah sakit. Pasal itu hanya mengatur pekerja atau buruh yang sakit berkepangangan melampaui 12 bulan dapat mengajukan PHK dan diberikan hak uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, uang pengganti hak.
“Tidak diatur mengenai harus dilampirkannya (bukti) rekam medis. Hal ini dapat menimbulkan rasa saling curiga antara pengusaha dan perkerja yang tidak disertai rekam medis. Ini bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 (jaminan kepastian hukum yang adil),” ujar David dalam sidang pendahuluan di ruang sidang MK, (19/9/2018).
Menurut David, apabila ada kewajiban menyertakan rekam medis sebagai bukti sakit berkepanjangan akan berpengaruh baik pada hubungan kerja antara pengusaha dan buruh. Sebab, pengusaha bisa mengetahui penyakit yang diderita dan akhirnya pengusaha mau membayar kewajibannya kepada pekerja sesuai Pasal 172 UU Ketenagakerjaan ini.
Misalnya, ketika sebuah perusahaan mempunyai pekerja/karyawan tetap sebanyak 1.000 orang. Dan 500 pekerjanya mengalami sakit berkepanjangan dan tidak memberi bukti rekam medis dari dokter, maka otomatis perusahaan harus berkewajiban membayar 500 pekerja itu sesuai UU Ketenagakerjaan.
“Seandainya perusahaan wajib membayar pesangon sebesar Rp50 juta dikali 500 pekerjanya, sehingga total uang pesangan yang dikeluarkan sebesar Rp 25 miliar. Otomatis pengusaha atau perusahaan mengalami kerugian yang besar dan dapat menjadi bangkrut akibat berlakunya Pasal 172,” dalihnya.
Karena itu, Pemohon meminta kepada Mahkamah untuk memberi tafsir konstitusional atas berlakunya Pasal 172 UU Ketenagakerjaan sepanjang penambahan frasa “rekam medis dari kedokteran atau keterangan resmi dari rumah sakit” dalam pasal tersebut. Permintaan ini agar tidak ada permasalahan antara pekerja dan pengusaha di kemudian hari.
“Menyatakan Pasal 172 UU Ketenagakerjaan direvisi menjadi ‘Pekerja buruh yang mengalami sakit berkepanjangan, mengalami cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 bulan dapat mengajukan pemutusan hubungan kerja dan sekaligus memberikan bukti rekam medis dari kedokteran atau keterangan resmi dari rumah sakit baru bisa diberikan uang pesangon dua kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja dua kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang pengganti hak satu kali ketentuan Pasal 156 ayat (4)’,” demikian bunyi petitum permohonan ini.
Menanggapi permohonan, Ketua Majelis Panel Enny Nurbaningsih meminta permohonan ini harus dielaborasi sedemikian rupa agar tergambar kerugian konstitusionalnya. “Dimana letak kerugian konstitusionalnya pagi pengusaha dan kerugian bagi pekerja. Ini harus dijelaskan secara gamblang,” pinta Enny. Dia mengutip pasal batu uji yang menggunakan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945 yang berbunyi “ setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”
“Kemudian dimana letak dari Pasal 172 UU Ketenagakerjaan yang tidak memberi jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil. Ini perlu dijelaskan lagi agar terang benderang,” pintanya.
Anggota Majelis, Saldi Isra meminta pemohon menekankan dengan memberi contoh-contoh kasus PHK dengan alasan sakit berkepanjangan yang terjadi untuk memperkuat argumentasi permohonan. Selanjutnya, saran Saldi, alasan permohonan dalam posita hingga petitumnya mesti disinkronkan lagi.
Shanto dikutip dari hukumonline.com/Editor