Menjelang aksi unjuk rasa tanggal 2 Desember 2016 atau lebih dikenal dengan aksi super damai 212, buruh menerima kado yang sangat pahit dari Mahkamah Agung (MA) yaitu penolakan Judisial Review (JR) PP No 78 Tahun 2015. Sampai saat ini team JR KSPI masih mempelajari apa yang menjadi dasar sehingga MA menolak permintaan dari kaum buruh tersebut.

Beberapa hari sebelumnya di DKI JAKARTA, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Banten para Gubernur dan PLT Gubernur telah menandatangani kenaikan UMP dan UMK yang sangat sesuai dengan PP No 78 Tahun 2015. Hal ini terjadi karena sebelumnya Menteri Tenaga Kerja Dan Menteri Dalam Negeri telah mengeluarkan surat edaran yang isinya memerintahkan agar semua Gubernur menetapkan UMP dan UMK sesuai dengan PP No 78 Tahun 2015. Tentu saja keputusan ini mendapat penolakan dari kaum buruh seperti yang terjadi di provinsi Banten terjadi aksi unjuk rasa yang menutup akses pintu masuk dan keluar tol Bitung. Hal ini memaksa PLT Gubernur Provinsi Banten mengundang buruh untuk melakukan audensi terkait dengan surat keputusan penetapan UMK provinsi Banten. Walaupun hasil audensi itu seperti hanya memberi harapan palsu saja kepada buruh agar buruh diam sesaat.

Baca juga:  UPAH MINIMUM HANYA AKAN MENCIPTAKAN KUALITAS PENDIDIKAN MINIMUM 

Terlepas dari itu semua jelas terlihat bahwa pemerintah dan negara sudah tidak lagi berpihak kepada rakyatnya yang notabene disini diwakili oleh buruh. Pemerintah dan negara telah menutup rapat mata dan telinganya terhadap tuntutan dari kaum buruh yang meminta kesejahteraan bagi buruh dan keluarganya. Pemerintah dan negara dengan semena-mena telah memutuskan kenaikan upah hanya berdasarkan kepada angka inflasi dan pertumbuhan ekonomi yang mereka buat sendiri tanpa melihat kebutuhan rill buruh di kehidupan nyata. Dan yang lebih ironisnya lagi bahwa pemerintah mewacanakan untuk merevisi UU No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan agar dapat mengakomodir PP No 78 Tahun 2015 sehingga semakin kuat legitimasinya. Sungguh logika yang dibuat terbalik, bahwa PP yang seharusnya dibawah UU tetapi sekarang posisinya menjadi sebaliknya.

Baca juga:  KPA SEBUT PENETAPAN RUU CIPTA KERJA SAAT PANDEMI MERUPAKAN KEJAHATAN KONSTITUSI

Inilah ironi buruh yang hidup di negeri ini. Buruh yang merupakan penggerak ekonomi, pembayar pajak aktif, penghasil devisa dan sebagainya hanya selalu menjadi objek bagi kepentingan penguasa dan mungkin juga bagi negara. Buruh tidak lebih dari sapi perahan yang diambil terus tenaganya dan sampai pada saatnya nanti dibuang begitu saja karena sudah tidak lagi berguna. Ironi hidup buruh yang tidak pernah membuat pemerintah dan negara berpihak kepadanya kecuali disaat pemilu, membayar pajak dan kewajiban-kewajiban lain dengan alasan nasionalisme dan yang lainnya yang sebenarnya hanya sebuah akal-akalan untuk menghisap buruh dan kemudian mencampakkannya.

 

Shanto/Coed