Hasil penelitian menunjukkan bahwa sektor industri menilai lulusan SMK belum mempunyai kualifikasi yang dibutuhkan, baik secara kemampuan, karakter, maupun etos kerja
(SPN News) Bandung, Lulusan SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) menjadi penyumbang pengangguran tertinggi karena kemampuannya belum memenuhi kebutuhan industri. Kurikulum SMK masih terlalu umum dan kerap tak sesuai arah pengembangan pemerintah setempat. Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tentang pendidikan vokasi di Jawa Barat dan Yogyakarta pada 2018 menyebut, lulusan SMK bidang peternakan di Kabupaten Bandung lebih banyak bekerja di sektor lain. Banyak dari mereka bekerja menjadi kasir di minimarket, buruh pabrik, atau bidang lain yang tak sesuai dengan jurusannya. Hanya sedikit yang berwirausaha menjadi peternak atau melanjutkan peternakan keluarganya.
“Persoalannya ada di citra peternak yang berkotor-kotor. Banyak anak muda yang tidak tertarik bekerja di bidang itu,” kata peneliti Anggi Afriansyah pada acara jumpa jurnalis dan peneliti bertema Pendidikan Vokasi dan Pengembangan Tenaga Kerja di Era Digital di Kantor Akatiga, Jalan Tubagus Ismail, Kota Bandung, (7//2018).
Lulusan SMK tidak terserap maksimal di sektor industri. Penelitian itu menunjukkan, sektor industri menilai lulusan SMK belum mempunyai kualifikasi yang dibutuhkan, baik secara kemampuan, karakter, maupun etos kerja.
“Kultur industri tidak dibangun di sekolah,” ujar Anggi Afriansyah.
Ia mengatakan, separuh kurikulum SMK masih bersifat pelajaran umum. Sehingga, kompetensi keahlian tidak mendapat porsi yang cukup. Guru produktif atau yang menguasai keahlian tertentu juga masih kurang.
Pengelolaan SMK yang kini di bawah pemerintah provinsi juga berpengaruh pada pengembangan SMK. Pemprov lebih banyak memberikan perhatian pada aspek adminstrasi daripada substansi. Menurut Anggi Afriansyah, hal itu berbeda jika pengelolaannya masih berada di bawah kementerian terkait. Kondisi itu yang menyebabkan lulusan SMK banyak yang mengikuti latihan kerja sebelum terjun ke industri. Kepala Seksi Pemberdayaan Balai Besar Pengembangan Latihan Kerja Tuti Haryanti mengatakan, 58,63 persen peserta latihan kerja merupakan lulusan SMK.
“Kalau ditanya kenapa, katanya tidak percaya diri,” katanya.
Mesin yang dipakai bekajar di sekolah jauh berbeda dengan mesin yang dipakai industri. Alat praktik mobil misalnya, digunakan beramai-ramai. “Sementara di kami, satu mobil maksimal hanya untuk dua peserta,” ujarnya.
Pemerataan dan keberagaman keahlian bidang garapan SMK, kata Anggi Afriansyah, juga belum memperhatikan potensi daerah serta arah kebijakan pemerintah setempat.
“Misalnya di Karawang, karena banyak industri, dibuat SMK untuk menunjang itu. Padahal ternyata yang dibutuhkan adalah tenaga kesehatan,” tuturnya.
Maka dari itu, pemerintah perlu memetakan kebutuhan tenaga kerjanya sesuai dengan potensi daerah dan arah kebijakan yang akan dikembangkan.
Menurut data, SMK banyak didirikan tapi tidak memperhatikan kebutuhan tenaga kerjanya. Data Kemendikbud tahun 2017 menunjukkan, SMK bidang perikanan dan kelautan lulusannya hanya lebih dari 17.000 orang. Sementara peluang kerjanya lebih dari 3,3 juta orang.
“Itupun yang 17.000 belum tentu bekerja di bidang perikanan dan kelautan,” ujar Anggi Afriansyah.
Sementara untuk bidang bisnis dan manajemen, lulusannya mencapai lebih dari 348.000 orang. Namun peluang kerjanya hanya sekira 119.000 orang.
Jawa Barat termasuk daerah yang jumlah SMK-nya terus meningkat. Sampai 2018, jumlahnya mencapai 2.846 sekolah, 267 di antaranya merupakan SMK Negeri. Siswa yang ditampung mencapai lebih dari satu juta siswa. Sampai Agustus 2018, jumlah penduduk usia kerja sebanyak 35,96 juta orang. Jumlah angkatan kerjanya 22,63 juta orang. Tingkat pengangguran terbukanya 8,17 persen. Dari jumlah itu 16,97 persen merupakan lulusan SMK. Jumlah itu yang tertinggi dibandingkan lulusan dari jenjang pendidikan lainnya.
Shanto dikutip dari PR.com/Editor