​Bagi perusahaan di provinsi Jawa Tengah yang keberatan dengan besaran UMK 2018 dipersilakan mengajukan penangguhan. 

(SPN News) Jakarta, Bagi perusahaan di provinsi Jawa Tengah yang keberatan dengan besaran UMK 2018 dipersilakan mengajukan penangguhan. Anggota Dewan Pengupahan Jawa Tengah dari Serikat Pekerja Edi Riyanto mengatakan, setelah penetapan upah buruh untuk 2018, maka akan berlaku efektif mulai 1 Januari 2018 mendatang.

“Namun, perusahaan atau pengusaha di Jawa Tengah dibolehkan mengajukan penangguhan pembayaran UMK 2018 tersebut jika merasa tidak mampu,” kata Edi (27/11/2017).
Edi menjelaskan, batasan mengajukan penangguhan pembayaran UMK 2018, dilakukan paling lambat 10 hari sebelum berlaku efektif. Kalau perusahaan atau pengusahanya tidak mampu, ada mekanismenya.

“Silakan mengajukan penangguhan. Tapi, ini bagi pengusaha yang benar-benar tidak mampu. Jangan sampai nanti tidak melalui mekanisme yang sudah ditetapkan,” ujar Edi.

Baca juga:  PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN MASIH LEMAH

Menurut Edi, terkait akan dikabulkan atau tidak pengajuan penangguhan itu menjadi kewenangan dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) masing-masing daerah. Penangguhannya, tergantung dari hasil pemeriksaan Disnakertrans setempat terhadap keuangan perusahaan tersebut selama setahun ke belakang dan setahun berikutnya.

Sementara itu, Ketua DPRD Jawa Tengah Rukma Setiabudi mengatakan upah minimum yang ditetapkan, banyak dinantikan kalangan buruh di provinsi ini. Karena, upah tahun depan diharapkan bisa lebih baik dari sebelumnya.

Namun, jelas Rukma, terkait dengan aksi unjuk rasa yang dilakukan elemen buruh di Jawa Tengah tentang penolakan UMK 2018 seharusnya tidak perlu terjadi. Karena, besaran upah yang ditetapkan sudah melalui tahapan pembahasan di Dewan Pengupahan.

Baca juga:  MENJARING USULAN PERBAIKAN UNTUK SERIKAT PEKERJA NASIONAL MENUJU KONGRES KE 8

Hanya saja, lanjut Rukma, pihak buruh diminta tidak terlalu memaksakan kehendaknya untuk mengabulkan besaran upah yang diminta. Sebab, apabila dipaksakan justru berimplikasi negatif terhadap pengusaha.

“Tetap harus ada harmonisasi antara pengusaha dengan buruh. Kalau hanya menang-menangan, ya tidak ada yang menang. Yang ada hancur bersama. Kalau buruh ngotot dan pengusaha tidak mampu, ya takutnya koleps,” kata Rukma.

Politikus PDIP tersebut menjelaskan, apabila kalangan buruh tidak mau menerima keputusan dan tetap memaksakan kehendaknya justru bisa berdampak luas. Salah satunya, iklim investasi dan industri di Jawa Tengah menjadi terganggu. Bahkan, dikhawatirkan banyak pengusaha yang kemudian angkat kaki dari Jawa Tengah.

Shanto dikutip dari Idola 92 FM/Editor