Ilustrasi

Profesor ilmu Lingkungan UI Kosuke Mizuno mengatakan persoalan legalitas status lahan menjadi penyebab petani sulit dapat sertifikat sawit berkelanjutan.

(SPNEWS) Jakarta, Profesor Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia (UI) Kosuke Mizuno mengatakan persoalan legalitas dan status kepemilikan lahan menjadi hambatan terbesar bagi petani kelapa sawit untuk mendapatkan sertifikat sawit berkelanjutan atau Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).

Ia menjelaskan, legalitas tersebut mencakup lahan sawit pekebun swadaya yang terindikasi berada di kawasan hutan, belum memiliki legalitas SHM (baru SKT), atau tak bisa memiliki Surat Tanda Daftar Budidaya (STD-B).

“Misal mau dapat ISPO harus ada sertifikat tanah, ternyata di lokasi ini banyaknya kawasan hutan. Atau bukan karena di kawasan hutan, bisa juga karena petani tidak banyak yang dapat sertifikat hak milik. Itu yang selalu kendala mereka,” terangnya dalam virtual conference bertajuk Social Development And It’s Challenges In The Changing World, (9/12/2020).

Baca juga:  MAYORITAS PENGANGGURAN DIDOMINASI LULUSAN SMK

Ia menambahkan masalah legalitas akan menjadi semakin sulit jika lahan sawit mereka berdiri di atas lahan gambut. Hal ini perlu dicarikan jalan keluar sebab pemerintah berencana mewajibkan seluruh petani sawit memiliki ISPO dalam lima tahun mendatang.

“Gambut itu banyaknya kawasan hutan, berarti kalau ISPO/RSPO mau diterapkan untuk petani kecil, harus lewat perhutanan sosial karena petani kecil tidak dapat sertifikat, karena kawasan hutan,” imbuhnya.

Seperti diketahui, sertifikasi ISPO wajib dimiliki oleh seluruh tipe perkebunan, baik petani kecil, perusahaan milik negara, dan perusahaan swasta.

Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kemenko Perekonomian Musdalifah Machmud mengatakan petani kecil akan diberikan periode transisi selama lima tahun ke depan.

Baca juga:  SAATNYA PENGUSAHA TIDAK HANYA BERPIKIR KEUTUNGAN

Beriringan dengan itu pemerintah melakukan pembinaan dan pengawasan sesuai dengan prinsip dan kriteria ISPO, serta penguatan peran kelompok petani atau koperasi.

Ia menambahkan, dalam melakukan peremajaan, petani sawit juga menghadapi permasalahan lahan serta kemampuan dalam memenuhi proses administratif.

Untuk mengatasi hal itu, pemerintah mengesahkan Undang-Undang Cipta Kerja di mana terdapat pasal yang mendukung para petani rakyat dalam menjalankan tata kelola yang berkelanjutan.

SN 09/Editor