Produksi manufaktur besar dan sedang untuk pakaian jadi mencatatkan kenaikan yang signifikan sebesar 29 persen. Sementara itu, produksi tekstil hanya sekitar 9 persen.

(SPN News) Jakarta, Industri tekstil Indonesia pernah jaya, khususnya saat memasuki tahun 1986. Saking pesatnya pertumbuhan industri tekstil, Presiden Soeharto pernah meresmikan 192 pabrik tekstil dan produk tekstil secara serentak pada 1989.

Namun masa itu sudah berakhir saat memasuki periode 1998-2002, ketika Indonesia dihantam krisis moneter. Periode itu menjadi masa paling sulit bagi industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional. Setelah itu, industri TPT berupaya keras untuk kembali seperti sedia kala. Sayang, harapan itu tidak mudah terwujud. Industri TPT malah dikategorikan sebagai sunset industry atau industri yang pertumbuhannya tipis dan cenderung menurun.

Baru-baru ini, wajah industri TPT yang suram kembali muncul di permukaan. Penyebabnya, salah satu perusahaan milik konglomerasi yang bergerak di sektor pertekstilan Duniatex Grup dikabarkan default alias gagal bayar surat utang. Perusahaan yang dimaksud adalah PT Delta Dunia Sandang Tekstil (DDST). Perusahaan pemintalan benang milik Duniatex Grup ini gagal memenuhi komitmen utang yang jatuh tempo pada 10 Juli 2019. Persoalan semakin keruh manakala gagal bayar itu menyebabkan peringkat utang perusahaan Duniatex Grup lainnya yakni PT Delta Merlin Dunia Textile (DMDT) dipangkas habis-habisan dari BB- menjadi CCC- oleh S&P Global Ratings.

Peringkat CCC- menandakan kondisi perusahaan sedang goyah, sehingga dalam memenuhi kewajibannya sangat bergantung dari kondisi ekonomi yang baik. Adapun, BB- menandakan kondisi perusahaan dalam memenuhi kewajibannya cukup memuaskan. Anjloknya peringkat hingga enam level tersebut jelas merugikan perusahaan maupun investor. Pasalnya, prospek DMDT kini menjadi suram. Apalagi, nilai utang yang disebar DMDT tidak kecil, yakni mencapai 300 juta dolar AS.

Baca juga:  KEMNAKER SEBUT ADA 18.333 PEKERJA DIPHK DAN 20 PERUSAHAAN DALAM BAHAYA

Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta menilai gagal bayar Duniatex Grup memang mencerminkan kondisi industri TPT yang sedang tertekan.

“Utamanya dari pabrik benang dan kain. Utilisasi produksinya semakin kecil. Sampai-sampai ada pabrik di Bandung yang harus melepas 36.000 karyawannya,” kata Redma.

Menurunnya produksi TPT bukan tanpa sebab. Menurut Redma, barang impor TPT saat ini semakin membanjiri pasar Indonesia, sehingga memaksa pabrik untuk menahan produksinya mengingat stok barang di gudang masih besar jumlahnya.

Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menilai gagal bayar DDST menjadi cerminan keadaan industri TPT nasional yang saat ini daya saingnya sedang menurun.

“Secara competitiveness, [industri tekstil] kita kalah bersaing. Apa yang dialami Duniatex berpotensi dialami juga pabrik tesktil lainnya. Duniatex ini refleksi penurunan daya saing kita di internasional,” jelas Ekonom Indef Enny Sri Hartati.

Pendapat berbeda dikemukakan Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat. Menurutnya, kondisi industri TPT secara umum justru masih menjanjikan. Ia mengatakan, kasus gagal bayar dari salah satu perusahaan tekstil besar di Indonesia baru-baru ini hanya sekadar anomali.

“Kita harus cermat menilai kasus ini sebagai sesuatu yang menggambarkan karakter sebuah individu, dan bukan potret industri prioritas pemerintah saat ini,” tutur Ade.

Apa yang dikatakan Ade ada benarnya. Dalam lima tahun terakhir, industri TPT sebenarnya mulai bergeliat, terlihat dari laju pertumbuhan PDB-nya. Pada 2015, pertumbuhan industri TPT turun 4,79 persen dan pada tahun berikutnya turun 0,09 persen.

Memasuki 2017, geliat industri TPT mulai tumbuh. Hingga akhir 2017, industri TPT tumbuh sebesar 3,83 persen. Pada 2018, kinerja industri TPT kian membaik dengan laju pertumbuhan PDB mencapai 8,73 persen.

Baca juga:  PELANTIKAN PENGURUS PSP SPN PT INTI ABADI KEMASINDO KABUPATEN BOGOR

Kondisi industri TPT yang sedang tancap gas juga dibuktikan dengan data lainnya, yakni dari kinerja pertumbuhan industri manufaktur besar dan sedang. Dari data tersebut, industri TPT tercatat naik 19 persen sepanjang kuartal I/2019 (YOY). Dari pertumbuhan industri manufaktur besar dan sedang TPT (PDF), produksi pakaian jadi mencatatkan kenaikan yang signifikan sebesar 29 persen. Sementara itu, produksi tekstil hanya sekitar 9 persen.

Kendati kinerja industri TPT terlihat positif, bukan berarti APSyFI dan INDEF salah menilai kondisi industri TPT. Pasalnya, jika dibedah lebih dalam, ada sub-sektor tertentu dari industri TPT yang kinerja nya menurun. Industri TPT terbagi atas empat jenis pabrik, yakni pabrik serat, benang, kain dan pakaian jadi. Adapun untuk pabrik serat, benang, dan kain tersebut masuk ke dalam kelompok industri tekstil.

Dari keempat pabrik itu, menurut APSyFI, kondisi industri serat, benang dan kain sedang lesu, terutama untuk pabrik skala mikro dan kecil. Dalam tiga tahun terakhir, utilitas produksi ketiga pabrik ini terus menurun.

“Utilisasi kain sekarang tinggal 50 persen dari sebelumnya 60 persen pada 2017. Lalu benang dari 76 persen menjadi 70 persen. Serat dari 70 persen tinggal 65-67 persen. Hanya pakaian jadi yang masih tinggi sekitar 85 persen,” tutur Redma.

Jika melihat pertumbuhan manufaktur mikro dan kecil di industri TPT (PDF), produksi tekstil memang sedang menurun. Pada kuartal I/2019, produksi tekstil menurun 0,27 persen dari kuartal I/2018. Berbanding terbalik, produksi pakaian jadi skala mikro dan kecil masih tumbuh 11 persen.

SN 09 dikutip dari berbagai sumber/Editor