Apindo mengkritik keputusan MK yang memperbolehkan nikah dengan teman satu kantor.
(SPN News) Jakarta, Apindo mengkritik langkah MK yang membuat putusan mengenai aturan pernikahan di antara tenaga kerja sekantor tanpa mengajak diskusi pengusaha.
Padahal putusan tersebut berdampak luas dalam dunia kerja. Dengan adanya putusan MK, aturan yang melarang sesama karyawan atau tenaga kerja sekantor memiliki ikatan perkawinan tidak berlaku karena MK menerima permohonan uji materi (judicial review) Pasal 153 ayat 1 Undang-Undang (UU) 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.
MK menganggap peraturan tersebut membatasi hak asasi manusia dan bertentangan dengan Pasal 28D ayat 2 UUD 1945 maupun Pasal 38 ayat 1 dan ayat 2 UU 39/1999. Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani berterus terang, kalangan penguasa mengkhawatirkan putusan MK tersebut bisa merusak tata kelola perusahaan yang selama ini sudah terbangun baik.
“Kenapa unsur Apindo tidak dilibatkan dalam keputusan sebesar itu? Hal ini lebih pada governance atau tata kelola perusahaan, bukan hanya soal diskriminasi atau semacamnya. Kalau suami istri satu kantor ataupun punya hubungan kerabat, bisa rawan konflik kepentingan,” ujar Hariyadi kemarin di Jakarta.
Menurut dia, MK seharusnya mempertimbangkan seluruh komponen sebelum pengambilan putusan. Aturan tersebut semula diperlukan untuk menjaga profesionalitas pegawai di perusahaan. “Coba saja bupati boleh tidak istrinya jadi wakil, presiden boleh tidak? Ya ada aturannya, ada tujuannya saat dibentuk dulu,” ujarnya.
Dia kembali menegaskan putusan MK bisa mengganggu perekonomian nasional, termasuk berakibat munculnya gejolak di perusahaan pasca putusan MK. “Reaksi banyak perusahaan negatif dengan aturan ini. Efeknya akan panjang. Terlebih lagi kami khawatirkan apabila suami istri tersebut menolak untuk dipindahkan dengan alasan putusan MK. Bisa dipastikan ini akan jadi perdebatan yang membuang tenaga dan waktu kita,” ujarnya.
Sosiolog Universitas Nasional (Unas) Sigit Rochadi mengatakan, pernikahan dengan teman satu kantor menurut hukum tidak masalah. Masalah yang akan timbul justru secara sosial dan psikologis. “Jadi secara sosial menyebabkan interaksi antarkaryawan menjadi kaku, terbatas, dan kurang harmonis,” ujar Sigit. Untuk diketahui, MK dalam pertimbangannya menyinggung Apindo.
Lembaga tersebut menyatakan tidak sependapat dengan dalil yang di sampaikan pihak Presiden maupun Apindo yang mendasarkan dalil nya pada doktrin pactasuntservanda dengan menghubungkan Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan, “Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan UU berlaku se bagai UU bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan tersebut dapat ditarik kembali dengan kesepakatan ke dua belah pihak atau karena alasan yang ditentukan UU dan harus dilaksanakan dengan iktikad baik.”
MK menganggap argumentasi demikian tidak selalu relevan untuk diterapkan tanpa memperhatikan keseimbangan kedudukan para pihak yang membuat persetujuan tersebut, ketika persetujuan itu dibuat.
Mahkamah juga tidak sependapat dengan dalil yang disampaikan PT PLN Persero mau pun Apindo yang beralasan aturan pelarangan pernikahan satu kantor untuk menghindari timbulnya hal-hal negatif seperti potensi timbulnya konflik kepentingan dalam pengambilan keputusan serta membangun kondisi kerja yang baik, profesional, dan berkeadilan.
Sekali lagi MK menegaskan, alasan demikian tidak memenuhi syarat pembatasan konstitusional yang termuat dalam Pasal 28J ayat 2 UUD 1945. Di sisi lain MK melihat potensi terjadinya konflik kepentingan dapat dicegah dengan merumuskan peraturan perusahaan yang lebih ketat sehingga memungkinkan terbangunnya integritas pekerja yang tinggi sehingga terwujud kondisi kerja yang baik, profesional, dan berkeadilan.
Meskipun putusan MK mengenai penghapusan larangan menikah bagi partner kerja satu kantor menuai pro-kontra, hal itu tetap harus dilaksanakan karena amanah konstitusi. Menurut Komisi Ketenagakerjaan DPR, perusahaan yang telah memecat pekerjanya karena aturan tersebut otomatis harus mempekerjakan mereka kembali dan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) harus mengawasi pelaksanaannya.
Ketua Komisi IX DPR Dede Yusuf Macan Effendi menjelaskan, dalam Undang-Undang Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan), khususnya Pasal 153 ayat (1), disebutkan bahwa pengusaha dilarang mem-PHK (putus hubungan kerja) pekerja yang menikah atau memiliki ikatan perkawinan dengan pekerja lain dalam satu perusahaan, kecuali hal tersebut diatur dalam perjanjian kerja bersama (PKB).
Dan setelah adanya putusan MK, ketentuan tambahan tersebut tidak lagi berlaku. “Dengan MK yang sudah membatalkan gugatan tersebut, artinya tidak dilarang menikah atau bertalian darah dengan teman satu perusahaan,” kata Dede saat dihubungi KORAN SINDO di Jakarta, Jumat (15/12).
Karena itu, lanjut Politikus Partai Demokrat tersebut, jika ada perusahaan yang memecat karyawannya lantaran memiliki hubungan pernikahan dengan karyawan lain dalam satu kantor, perusahaan harus memperkerjakannya kembali. Karena keputusan PHK sebelumnya telah batal demi hukum.
“Sesuai dengan undang-undang harus dipekerjakan kembali atau tetap membayar upah. Sanksinya ada di undang-undang tersebut,” jelasnya.
Sementara itu Pelaksana Tugas (Plt) Ketua DPR Fadli Zon berpandangan, putusan MK itu sudah sesuai dengan hak asasi, jadi aneh rasanya jika pekerja tidak boleh bekerja di kantor yang sama karena punya hubungan pernikahan dengan pekerja lain.
“Saya kira itu sah-sah saja,” kata Fadli menanggapi putusan MK di Gedung DPR Jakarta. Menurut politikus Partai Gerindra itu, jika perusahaan khawatir pekerja yang memiliki hubungan pernikahan dengan pekerja lain dapat menimbulkan masalah pribadi dalam pekerjaan atau konflik kepentingan, bidang kerja pekerja tersebut sebaiknya dipisah sehingga meminimalkan potensi itu.
“Saya kira itu teknis, secara prinsip harusnya tidak boleh ada larangan itu (hubungan pernikahan dengan pekerja satu kantor”, tegasnya.
Abdul Munir Banten 2 dikutip dari Okezone.com/Editor