(SPN News) Kehidupan buruh sampai saat ini masih sangat memprihatinkan. Kehidupan buruh masih masuk dalam katagori marjinal, yaitu kelompok yang tidak memiliki akses ekonomi-politik yang sering identik dengan kemiskinan. Hal ini disebabkan karena tidak adanya perhatian pemerintah dan pengusaha dalam pemenuhan hak-hak normatif pekerja. Salah satunya adalah minimnya fasilitas jaminan sosial.
Pelaksanaan program jaminan sosial tenaga kerja masih sangat lemah terlebih bagi buruh harian lepas dan outsourcing, khususnya yang bekerja di sektor perkebunan. Alasan klasik yang selalu dikatakan pemerintah adalah terbatasnya jumlah pengawas tenaga kerja di dinas tenaga kerja (Disnaker). Tapi, kelemahan ini tidak ditutupi dengan adanya tindakan tegas terhadap pengusaha yang melanggar ketentuan ini.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan mandulnya program jaminan sosial. Pertama, tidak ada keseriusan berupa political will dari pemerintah untuk memperbaiki kehidupan buruh. Dua, undang-undang yang berlaku jika ditelisik lebih jauh, belum sepenuhnya membela kepentingan buruh. Menyangkut peserta jaminan sosial, misalnya. Tidak ada secara tegas yang menyatakan bahwa tenaga kerja (buruh) yang berstatus harian lepas dan outsourcing juga merupakan peserta jaminan sosial. Pada kenyataannya, peserta BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan didominasi buruh yang berstatus tetap. Kedua, belum adanya sistem kebijakan penghargaan (award) dan hukuman (punishment). Ini sebagai alat kontrol bagi pemerintah untuk menilai kinerja perusahaan. Penghargaan diberikan bagi perusahaan yang memberikan jaminan sosial bagi seluruh pekerjanya. Termasuk pekerja/buruh yang berstatus tidak tetap (harian lepas) dan kontrak/outsourcing. Bentuknya bisa berupa kemudahan kredit usaha untuk peningkatan produksi ataupun ekspansi usaha. Sedangkan hukuman diberikan bagi perusahaan yang dengan sengaja tidak mendaftarkan pekerja ke dalam program jaminan sosial. Termasuk di dalamnya buruh lepas dan outsourcing. Hukumannya adalah sanksi pidana bagi pemilik perusahaan sampai pada penutupan perusahaan tersebut (lock out).
Sebelumnya, harus ada kesamaan pandang bagi kita untuk menempatkan posisi buruh. Di mana dalam prakteknya sekarang ini buruh merupakan outsider. Desain kebijakan politik belum memosisikan buruh sebagai salah satu pemangku kepentingan utama (stakeholder). Implikasinya adalah pelanggaran berbagai hak normatif buruh. Seperti upah rendah, minimnya alat pelindung diri (APD), rendahnya kualitas alat kerja, buruknya fasilitas kerja, dan pelanggaran keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Untuk mengatasi masalah ini, maka terlebih dahulu kita harus mengubah paradigma kita mengenai buruh. Buruh bukan budak atau pekerja paksa. Mereka sama halnya dengan kelompok masyarakat lainnya, termasuk kaum elite pengusaha dan penguasa. Dan ini secara gamblang dijamin di konstitusi. Buruhlah yang membuat alat produksi memiliki nilai sehingga dapat mendatangkan kapital (modal). Meski buruh itu sendiri tidak memiliki modal. Namun, tenaga dan jasa yang dikeluarkan buruh sama berharganya dengan modal yang dimiliki pengusaha.
Ketika posisi buruh dan pengusaha sudah sederajat, maka tenaga dan jasa yang mereka keluarkan harus dihargai dengan upah yang setimpal. Makanya, konsep pembuatan upah minimum, provinsi (UMP), kabupaten/kota (UMK), dan sektor (UMSK) tidak lagi didasari atas kebutuhan hidup seorang lajang, tetapi atas dasar keperluan jumlah anggota keluarga. Atau, penentuan upah harus didasari berdasarkan nilai produksi yang diciptakannya selama satu hari. Dengan kata lain, upah buruh sudah bisa untuk memproteksi keperluan keluarga buruh (istri dan anak). Upah ini juga sudah memperhitungkan kenaikan rata-rata inflasi, minimal selama lima tahun. Upah adalah pemenuhan keperluan premier dan sekunder.
Sedangkan untuk keperluan tersier, buruh mendapatkannya melalui program jaminan sosial. Jaminan sosial adalah investasi jangka panjang yang dimiliki buruh dan keluarganya. Yaitu berupa proteksi dan pelayanan kesehatan, pendidikan sampai jenjang tertinggi, dan santunan kematian serta tunjangan hari tua dan pensiun.
SN 09 dikutip dari berbagai sumber/Editor