Ilustrasi
(SPNEWS) Jakarta, Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk untuk memperjuangkan kepentingan buruh. Walaupun di Indonesia ada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang ketenagakerjaan tetapi pada praktiknya sering kali peraturan tersebut tidak dipatuhi oleh para pemberi kerja dalam hal ini pengusaha. Oleh karena itu perlu usaha bagi para pekerja/buruh untuk memperjuangkan pemenuhan hak-haknya. Itulah mengapa pekerja/buruh harus membentuk serikat pekerja/serikat buruh untuk mengadvokasi atau membela hak-haknya sendiri.
Serikat pekerja/serikat buruh juga berfungsi sebagai sekolah untuk memberikan buruh pendidikan alternatif. Bayangkan saja, buruh bekerja 8 jam sehari, bahkan lebih jika mengambil lembur. Buruh tak punya banyak kesempatan untuk mengembangkan kemampuan mental berpikirnya.
Serikat pekerja/serikat buruh inilah yang menyediakan pendidikan dan pelatihan yang dibutuhkan untuk memajukan pikiran dan keterampilan yang berguna bagi kehidupan buruh.
Dalam menjalankan berbagai kegiatan ini, organisasi apapun pasti membutuhkan dana. Dana ini digunakan untuk membiayai kegiatan-kegiatan tersebut di atas dan perluasan serikat. Semakin tinggi tujuan sebuah serikat buruh, maka dana yang dibutuhkan semakin besar.
Itulah kenapa sebuah serikat harus menggalang iuran. Jumlah iuran biasanya adalah persentase tertentu dari upah yang besarnya tergantung kepada ketentuan dalam Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga masing-masing serikat pekerja/serikat buruh.
Perluasan serikat mutlak perlu dilakukan mengingat salah satu kunci dari keberhasilan perjuangan buruh adalah solidaritas. Serikat pekerja/serikat buruh harus menggalang sebanyak mungkin sekutu dari berbagai pabrik dan sektor masyarakat. Dalam proses itu, kita saling membantu dengan buruh di pabrik-pabrik lain dan rakyat sektor lainnya sehingga gerakan perjuangan semakin menguat. Kekuatan inilah yang dapat kita gunakan untuk memenangkan kesejahteraan yang lebih tinggi lagi.
Karena kita yakin bahwa sebab dari kemiskinan buruh dan rakyat Indonesia adalah akibat dari ketidakadilan. Sistem ekonomi yang tidak adil yang mengizinkan segelintir pemodal (kapitalis) mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dan hanya memberikan sekecil-kecilnya kepada buruh. Kekayaan alam Indonesia yang begitu melimpah tidak bisa dinikmati oleh rakyat Indonesia karena dikuasai oleh kapitalis, terutama kapitalis dari negeri lain. Perampokan ini tidak bisa dibiarkan lebih lama lagi, kita butuh kekuatan untuk melawannya.
Iuran digunakan untuk membiayai kegiatan-kegiatan organisasi seperti transportasi, alat-alat kantor, pengurus penuh waktu, pendidikan, advokasi, perluasan dan sebagainya. Anggota berhak mendapatkan laporan penggunaan dana. Serikat pekerja/serikat buruh yang baik akan melaporkan pengeluaran secara rinci secara teratur kepada anggotanya.
Pekerja/buruh tidak boleh menganggap bahwa dengan membayar iuran, maka urusan pun beres. Banyak pekerja/buruh yang merasa tidak perlu aktif lagi dalam kegiatan serikat setelah membayar iuran. Sikap semacam ini sesungguhnya sangat merugikan serikat buruh. Ini adalah gagasan yang menganggap hubungan buruh dengan serikat adalah hubungan transaksional jual-beli.
Hal ini bisa terjadi karena buruh dipengaruhi oleh cara berpikir kapitalis, yakni dengan modal bayar iuran sekecil-kecilnya harus mendapatkan manfaat sebesar-besarnya dari serikat. Cara berpikir seperti ini sangat keliru, karena:
Pertama, iuran yang dikeluarkan buruh untuk serikat tidak seberapa apabila dibandingkan dengan biaya yang harus dikeluarkan apabila buruh menggunakan jasa pihak luar, seperti pengacara atau konsultan. Sehingga sangat keliru apabila anggota menganggap dapat “membeli” jasa serikat. Jika menggunakan jasa pengacara komersil, maka buruh bisa mengeluarkan biaya yang lebih besar hingga puluhan juta. Jasa pengacara tidak murah.
Sebetulnya, yang membuat iuran itu nilainya kecil karena kita berserikat. Di dalam serikat, maka hubungan yang tercipta adalah hubungan kerja sama untuk mencapai kepentingan bersama. Jika menggunakan hubungan komersil, maka buruh harus mengeluarkan biaya advokasi sesuai dengan harga pasar yang mahal itu.
Kedua, dana hanyalah salah satu komponen yang dibutuhkan serikat dan gerakan buruh untuk maju. Lebih jauh lagi, serikat membutuhkan massa buruh itu sendiri untuk terlibat aktif dalam perjuangan sehari-hari. Tanpa mobilisasi massa buruh, maka serikat buruh tidak bisa membangun kekuatan untuk digunakan dalam menuntut.
Konsekuensinya, serikat pekerja/serikat buruh bisa kalah saat bertarung dengan majikan. Hal ini tentunya akan merugikan seluruh anggota, bahkan serikat pekerja/serikat buruh bisa bubar karenanya atau hanya tinggal papan nama saja. Serikat pekerja/serikat buruh yang tinggal papan nama memang eksis di atas kertas, tapi sudah kehilangan gigi dalam membela anggotanya. Serikat seperti ini justru banyak menganjurkan agar buruh tidak neko-neko dan terima saja segala keinginan pengusaha sekalipun merugikan. Kita tentu tidak menginginkan serikat seperti ini.
Problem yang paling sering terjadi dalam persoalan iuran adalah masalah transparansi iuran. Serikat pekerja/serikat buruh wajib mengeluarkan laporan penggunaan dana untuk anggota. Hal ini dilakukan tidak saja untuk memenuhi hak anggota atas informasi, tetapi juga agar anggota dapat belajar mengenai apa-apa yang dibutuhkan untuk membangun serikat pekerja.
Dana serikat digalang dari anggotanya sendiri untuk menjamin kemandirian organisasi. Jika dana serikat buruh didapatkan dari pihak lain seperti pemerintah atau pengusaha, maka lama-kelamaan serikat pekerja/serikat buruh akan tergantung pada pihak pemberi dana. Ketergantungan ini dapat membuat serikat disetir oleh pihak pemberi dana.
Sebaik-baiknya sumber dana adalah dari iuran anggota yang dibayarkan oleh anggota secara aktif dan langsung.
Dewasa ini banyak serikat yang mendapatkan iuran secara payroll (pemotongan otomatis) dengan memberikan kuasa kepada perusahaan untuk melakukan pemotongan iuran. Kemudian iuran itu disetorkan ke rekening serikat pekerja. Dengan demikian, maka iuran selalu lancar masuk tiap bulannya ke organisasi tidak peduli apakah anggota yang bersangkutan aktif dalam kegiatan serikat pekerja atau tidak.
Kelemahan cara ini adalah, pengusaha dapat mengetahui kekuatan kas buruh dan dalam jangka panjang menciptakan semacam ketergantungan kepada pengusaha sebagai “penolong” dalam pemungutan iuran. Besarnya jumlah iuran juga tidak dapat dijadikan ukuran kekuatan serikat. Sebab, banyak anggota yang membayar iuran secara pasif, bahkan “tak sadar”. Besarnya uang iuran yang didapatkan serikat tidak berbanding lurus dengan banyaknya massa buruh anggota yang bersedia dikonsolidasikan dan dimobilisasi.
SN 09/Editor