Ilustrasi

Rendahnya kenaikan upah minimum berimbas rendahnya pertumbuhan ekonomi

(SPNEWS) Jakarta, Direktur Celios, Bhima Yudhistira, menyatakan idealnya upah minimum pekerja (UMP) naik di atas inflasi agar daya beli masyarakat terjaga. Menurut dia, kenaikan UMP per tahun menjadi sia-sia jika tak bisa melampaui laju inflasi.

“Jadi percuma juga mau ekonomi kita tumbuh 5 persen misalnya, kalau UMP hanya rata-rata naiknya 1 persen. Maka kualitas pertumbuhan ekonomi rendah,” ujar Bhima (26/1/2022).

Hal tersebut merespons pernyataan Menteri Investasi sekaligus Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Bahlil Lahadalia. Bahlil sebelumnya menilai target peningkatan pendapatan per kapita dari US$ 4.000 menjadi US$ 12.000 akan sulit tercapai jika upah minimum masih di kisaran Rp 4-5 jutaan.

“Kalau UMR kita cuma Rp 4 juta atau Rp 5 juta, sampai ayam tumbuh gigi tak mungkin tercapai pendapatan 12.000 dolar per kapita,” ujar Bahlil dalam acara Himpunan Pengusaha Muda Indonesia, Selasa, 25 Januari 2022.

Ia menjelaskan, gaji Rp 4-5 juta per bulan memperlihatkan tenaga kerja Indonesia harus ditingkatkan atau di-upgrade kualitasnya. Untuk itu, Bahlil mendorong agar masuk investasi berkualitas yang memiliki nilai lebih.

Lebih jauh, Bhima menjelaskan, rendahnya kenaikan upah minimum dan berimbas pada minimnya kualitas pertumbuhan ekonomi itu di antaranya terlihat dari lebarnya selisih pendapatan antara 20 persen kelompok paling atas dan 40 persen kelas menengah. Dari angka tersebut, terlihat ada dua kelompok tidak saling tumbuh bersama. Kelas menengah ini memiliki andil 40 persen terhadap total pengeluaran secara nasional.

Yang menjadi masalah, menurut dia, adalah banyak oknum pelaku usaha berpikir ekonomi harus tumbuh sementara upah tenaga kerja tetap rendah. “Kan repot kalau itu yang terjadi dan menyebabkan pendapatan per kapita tidak optimal. Sulit keluar dari middle income trap,” ucapnya.

Baca juga:  26 AKTIVIS BURUH DINYATAKAN TIDAK BERSALAH

Saat ini, kata Bhima, banyak negara berupaya untuk keluar dari jebakan pertumbuhan ekonomi rendah saat pendemi dengan menaikkan upah minimum. Dengan begitu diharapkan bakal memicu konsumsi yang lebih tinggi.

Di dalam negeri, yang harus dilakukan segera adalah merevisi formulasi upah dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2021 tentang Pengupahan. Pasalnya, formulasi perhitungan upah tersebut malah mundur sebelum adanya Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahun 2015.

Padahal dalam PP Nomor 78 tahun 2015 diatur bahwa upah mengikuti formulasi pertumbuhan ekonomi ditambah inflasi.

“Kalau target pertumbuhan 5 persen sementara inflasi 3 persen, maka setidaknya upah kan naiknya 8 persen di 2022,” ujar Bhima.

“Jadi percuma juga mau ekonomi kita tumbuh 5 persen misalnya, kalau UMP hanya rata-rata naiknya 1 persen. Maka kualitas pertumbuhan ekonomi rendah,” ujar Bhima saat dihubungi, Rabu, 26 Januari 2022.

Hal tersebut merespons pernyataan Menteri Investasi sekaligus Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Bahlil Lahadalia. Bahlil sebelumnya menilai target peningkatan pendapatan per kapita dari US$ 4.000 menjadi US$ 12.000 akan sulit tercapai jika upah minimum masih di kisaran Rp 4-5 jutaan.

“Kalau UMR kita cuma Rp 4 juta atau Rp 5 juta, sampai ayam tumbuh gigi tak mungkin tercapai pendapatan 12.000 dolar per kapita,” ujar Bahlil dalam acara Himpunan Pengusaha Muda Indonesia, Selasa, 25 Januari 2022.

Baca juga:  AKSI UNJUK RASA LANJUTAN DI PT SUNINDO ADIPERSADA KABUPATEN BOGOR

Ia menjelaskan, gaji Rp 4-5 juta per bulan memperlihatkan tenaga kerja Indonesia harus ditingkatkan atau di-upgrade kualitasnya. Untuk itu, Bahlil mendorong agar masuk investasi berkualitas yang memiliki nilai lebih.

Lebih jauh, Bhima menjelaskan, rendahnya kenaikan upah minimum dan berimbas pada minimnya kualitas pertumbuhan ekonomi itu di antaranya terlihat dari lebarnya selisih pendapatan antara 20 persen kelompok paling atas dan 40 persen kelas menengah. Dari angka tersebut, terlihat ada dua kelompok tidak saling tumbuh bersama. Kelas menengah ini memiliki andil 40 persen terhadap total pengeluaran secara nasional.

Yang menjadi masalah, menurut dia, adalah banyak oknum pelaku usaha berpikir ekonomi harus tumbuh sementara upah tenaga kerja tetap rendah.

“Kan repot kalau itu yang terjadi dan menyebabkan pendapatan per kapita tidak optimal. Sulit keluar dari middle income trap,” ucapnya.

Saat ini, kata Bhima, banyak negara berupaya untuk keluar dari jebakan pertumbuhan ekonomi rendah saat pendemi dengan menaikkan upah minimum. Dengan begitu diharapkan bakal memicu konsumsi yang lebih tinggi.

Di dalam negeri, yang harus dilakukan segera adalah merevisi formulasi upah dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2021 tentang Pengupahan. Pasalnya, formulasi perhitungan upah tersebut malah mundur sebelum adanya Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahun 2015.

Padahal dalam PP Nomor 78 tahun 2015 diatur bahwa upah mengikuti formulasi pertumbuhan ekonomi ditambah inflasi.

“Kalau target pertumbuhan 5 persen sementara inflasi 3 persen, maka setidaknya upah kan naiknya 8 persen di 2022,” ujar Bhima.

SN 09/Editor