Ilustrasi

Pemerintah dan DPR RI tidak perduli dengan keadaan masyarakat yang terpuruk akibat pandemi Covid-19

(SPNEWS) Jakarta, DI tengah pandemi Covid-19  yang belum sepenuhnya terkendali, pemerintah dan DPR RI mengesahkan Omnibus Law RUU Cipta Kerja menjadi undang-undang melalui rapat paripurna, (5/10/2020).

DPR RI mengklaim, RUU yang memuat 15 bab dan 174 pasal ini disahkan setelah melalui pembahasan dan perdebatan yang panjang. Ada 64 kali rapat sejak 20 April hingga 3 Oktober 2020 guna membahas beleid ini. Hampir semua fraksi mengamini pengesahan RUU ini. Hanya ada dua fraksi yang menolak, yakni Fraksi PKS dan Fraksi Partai Demokrat. Dua fraksi ini menolak seluruh hasil pembahasan RUU Cipta Kerja.

Sejak awal, RUU ini menuai banyak penolakan, khususnya dari kalangan pekerja/buruh. Pasalnya, regulasi ini dinilai akan memangkas hak-hak kaum pekerja mulai dari soal upah, ancaman PHK semena-mena hingga menyusutnya pesangon yang akan diterima.

Baca juga:  BURUH KSPI TOLAK KENAIKAN HARGA BBM DI BALAI KOTA JAKARTA

Beberapa poin yang menjadi keberatan para pekerja di antaranya soal penghapusan upah minimum kota/kabupaten sektoral dan ketidak pastian UMK. Aturan ini dinilai akan membuat upah pekerja lebih rendah. Mereka juga mengkritisi tidak adanya batas waktu perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) atau pegawai kontrak. Aturan ini dinilai merugikan pekerja karena jangka waktu kontrak akan berada di tangan pengusaha dan status pekerja kontrak bisa selamanya. Selain itu pengusaha sewaktu-waktu bisa melakukan PHK.

Banyak kalangan menyesalkan pengesahan RUU yang sarat kontroversi ini. Pertama, karena banyak pasal di RUU ini yang dinilai bermasalah dan merugikan rakyat, khususnya para pekerja. Selain itu, RUU ini disahkan di tengah pandemi virus Corona yang belum sepenuhnya terkendali.

Baca juga:  CUTI BERSAMA LEBARAN 2023 DIMULAI 19 APRIL 2023

Ada kesan, pemerintah dan DPR RI sengaja memanfaatkan pandemi guna meloloskan RUU ini. Pasalnya, saat ini semua mata tertuju pada penanganan virus Corona dan konsentrasi tercurah pada upaya menangani pandemi. Pembahasan RUU ini juga dilakukan diam-diam seperti mengejar setoran. Masa reses juga tetap digunakan untuk membahas RUU yang dinilai “cacat” ini.

RUU ini bahkan pernah dibahas secara diam-diam di sebuah hotel pada akhir pekan. Padahal menurut aturan, kegiatan atau rapat selama pandemi hanya dilakukan pada Senin hingga Jumat. Kondisi ini tentu mencurigakan dan menyisakan pertanyaan. Kenapa DPR harus diam-diam dan seperti mengejar setoran hanya untuk membahas dan mengesahkan sebuah undang-undang.

SN 09/Editor