Kenyataannya masih banyak ditemui anak-anak bekerja di perkebunan.
(SPN News) Jakarta, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menyatakan anggotanya telah mematuhi aturan ketenagakerjaan di Indonesia. Salah satunya adalah melarang penggunaan pekerja anak di perkebunan sawit.
“Hingga sekarang, perusahaan sawit yang tergabung dalam GAPKI telah menjalankan aturan ketenagakerjaan. Gapki melarang pekerja anak dan pelanggaran isu ketenagakerjaan lainnya,” tegas Ketua Bidang Tenaga Kerja GAPKI, Sumarjono Saragih dalam diskusi Oil Multi Stakholder National Dialogue : Toward Decent Work for All Indonesia’s Palm Oil Sector.
Yang sangat disayangkan, kata Sumarjono, setiap berita pelanggaran cenderung diarahkan kepada GAPKI. “Padahal, Gapki hanya mengambil porsi 30% dari total lahan dan pekerja sawit Indonesia,” ujarnya.
Menurut Sumarjono, industri kelapa sawit Indonesia kerap dipermasalahkan beberapa negara, khususnya Eropa, terkait isu-isu pelanggaran hak asasi manusia dan tenaga kerja. Pada 2015 total pekerja di industri sawit mencapai 7,9 juta orang. Dengan porsi 30%, berarti tenaga kerja sawit di Gapki sekitar 2,3 juta orang. “Di internal kami, isu ketenagakerjaan jadi perhatian. Namun, kami tidak bisa mengontrol perusahaan di luar Gapki,” tuturnya.
Sumarjono menjelaskan nasib pekerja ini kemudian menjadi perhatian banyak pihak guna mendorong sistem ketenagakerjaan yang adil. Jika tidak segera diperbaiki, ada kekhawatiran bahwa masalah ketenagakerjaan ini akan mempengaruhi keberlanjutan industri kelapa sawit nasional maupun di pasar global ke depan. Keterlibatan itu perlu datang dari pengusaha, pekerja kelapa sawit, serikat pekerja dan pemerintah.
Alette Van Leur Direktur Sektor Internasional ILO Geneva Alette menyarankan, perusahaan dan pekerja mesti saling bersinergi untuk menyelesaikan masalah ketenagakerjaan. Langkah awal yang bisa dilakukan adalah melalui berbagai forum serta peningkatan kerjasama tripartite yang akan mendorong kompetisi tenaga kerja industri sawit di Indonesia.
“Sejak 2009, kami bersama pemerintah sudah merasakan adanya masalah tenaga kerja, sehingga perlu dilakukan dialog sosial agar bisa menjadi jaminan sosial dalam memberikan hak bagi pekerja tetap maupun kontrak,” kata Alette.
Ia menceritakan, ILO sudah beberapa tahun melakukan riset dan dialog bersama GAPKI dan pemerintah. Hasilnya, perlu ada komitmen terikat antar elemen masyarakat, untuk menjalankan sistem ketenagakerjaan yang adil dan bertanggung jawab. “Seperti tidak melibatkan pekerja anak ataupun mendiskriminasikan antar pekerja,” tambahnya.
Tenaga kerja yang produktif itu penting bagi industri kelapa sawit. Seperti diketahui, Indonesia dan Malaysia menguasai 90 % persediaan produk sawit global. Sehingga, industri kelapa sawit punya peran dominan bagi perekonomian nasional dan mengentaskan masalah kemiskinan rakyat.
Abdul Munir dikutip dari sawitindonesia.com/Editor