​Sebanyak 50% pekerja perempuan dari 118 responden di KBN Cakung cemas atau takut ketika mengetahui dirinya sedang hamil.

(SPN News) Jakarta, Perempuan Mahardhika selaku organisasi yang peduli atas buruh di Indonesia baru-baru ini melakukan riset tentang kondisi buruh perempuan yang sedang hamil di tempat kerja. Riset dilakukan di pabrik KBN Cakung, Jakarta Utara selama empat bulan, sejak Agustus 2017.

Dari hasil riset tersebut Perempuan Mahardhika mendapatkan 118 responden buruh perempuan yang pernah atau sedang hamil dalam jangka waktu tahun 2015 hingga 2017. Dari 118 responden tersebut diketahui sebanyak 50 persen merasa cemas atau takut ketika mengetahui dirinya sedang hamil.

“Ada banyak hal yang menyebabkan buruh wanita ini merasa cemas atau takut. Beberapa alasannya karena takut kehilangan pekerjaan, penghasilan kurang, dan keguguran. Selain itu fasilitas dan hak yang seharusnya mereka dapatkan ikut terampas,” ujar Koordinator Program Penelitian Perempuan Mahardhika Vivi Widyawati dalam konferensi pers pemaparan hasil penelitian di Gedung LBH, Menteng, Jakarta, Selasa (19/12).

Sebanyak tujuh dari 93 buruh ternyata pernah mengalami keguguran. Tiga di antaranya tidak mendapatkan hak sesuai dengan yang dituliskan dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan No 13/2003 pasal 82. Tiga orang tersebut bahkan disebut didorong untuk mengajukan pengunduran diri atau mengambil izin sakit.

Baca juga:  PREDIKSI ILO, 1,25 MILIAR PEKERJA TERANCAM PHK KARENA COVID -19

Dalam hal ini, Perempuan Mahardhika menganggap keguguran yang terjadi bagi buruh wanita ini tidak hanya berarti kehilangan anak. Melainkan juga kehilangan hak mereka. Hak lain yang diambil dari para buruh ini adalah hak mereka setelah melahirkan.

Sebanyak 86 buruh dinyatakan dapat melahirkan namun bukan berarti status mereka aman. 70 dari 86 buruh yang melahirkan mendapatkan cuti berbayar mereka sementara sisanya tidak mendapat cuti. Lalu 16 buruh tersebut setelah melahirkan ada yang diminta membuat kontrak baru atau kehilangan pekerjaanya.

“Ke 16 buruh perempuan atau sebesar 20,4 % yang melahirkan tidak mendapatkan hak cuti mereka. Sembilan di antaranya diberikan cuti namun tidak dibayar dan setelah melahirkan diminta membuat kontrak baru, dan sisanya kehilangan pekerjaan mereka,” ujar Sekretaris Nasional Perempuan Mahardhika Mutiara Ika Pratiwi.

Hak lainnya yang seharusnya didapat oleh pekerja wanita setelah melahirkan adalah adanya izin menyusui saat jam kerja. Namun yang terjadi sebanyak 74 buruh atau 86 persen koresponden menyatakan mereka tidak mengetahui hal tersebut dan akhirnya memanfaatkan waktu istirahat makan siang untuk menyusui.

Baca juga:  SPN MENUNTUT PENYELESAIAN DI PT GNI BUKAN MALAH PEKERJA DIKRIMINALISASI

Dalam Undang-Undang No 36/2009 pasal 128 tentang kesehatan disebutkan perlunya penyediaan fasilitas khusus bagi ibu menyusui di tempat kerja maupun fasilitas umum. Sebanyak 52,3 % responden mengetahui tentang aturan tersebut namun hanya 23,3 % yang menggunakan fasilitas tersebut.

“Di pabrik ada aturan bayi tidak boleh dibawa ke pabrik. Selain itu buruh perempuan yang sedang menyusui merasa kesulitan mengatur waktu untuk memerah ASI karena tidak diberi izin dan dianggap mengganggu pekerjaan. Pekerjaan buruh kan dihitung per target,” ujar Ika.

Hak buruh lainnya yang dirasa dipermainkan adalah hak cuti menstruasi atau hak atas cuti haid. Normalnya buruh perempuan mendapat jatah cuti dua hari setiap bulannya.

Namun karena merasa cuti ini akan memotong penghasilan mereka dan target dari pabrik takut tidak terpenuhi maka cuti ini dimodifikasi. Para buruh memilih untuk tetap bekerja namun mendapatkan tunjangan atau uang cuti haid. “Hal ini yang menjadi alasan banyak buruh wanita menyembunyikan kehamilan mereka. Cuti haid dimanfaatkan untuk mendapatkan uang tersebut,” lanjut Ika.

Abdul Munir dikutip dari republika.co.id/Editor