(SPNEWS) Jakarta, Focus Group Discussion (FGD) Aliansi Aksi Sejuta Buruh (AASB) menghadirkan Ekonom senior dari Universitas Indonesia Faisal Basri sebagai pembicara. Dalam kesempatan ini Faisal Basri terkait dengan UU Omnibuslaw baik itu UU Cipta Kerja maupun UU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK).
Faisal Basri mengungkapkan pertumbuhan investasi atau pembentukan modal tetap bruto di Indonesia terus melambat. Kondisi ini terjadi meski pemerintah telah menempuh berbagai cara untuk menggenjot masuknya investasi ke Tanah Air, termasuk menerbitkan Undang-undang Cipta Kerja.
“Padahal hampir segala telah ditempung. Telah hadir pula Omnibus Law (UU Cipta Kerja), undang-undang sapu jagat yang bertujuan untuk mengenyahkan segala hambatan investasi,” ujar Faisal Basri.
Pemerintah juga telah menggelontorkan sejumlah insentif dan fasilitas istimewa untuk menarik investasi. Bahkan Presiden Joko Widodo alias Jokowi juga menyempatkan datang ke kantor pengusaha kelas kakap dunia. Namun bukannya meroket, Faisal membeberkan pertumbuhan investasi justru semakin melambat.
Pada semester pertama tahun ini, pertumbuhan investasi hanya tumbuh 3,3 persen. Faisal menyebutkan angka gross fixed capital formation terus menurun, terutama sejak 2020. Pada 2020 investasi tumbuh -4,96 persen, lalu pada 2021 sebesar 3,80, kemudian pada 2022 naik sedikit menjadi 3,87, dan turun kembali tahun ini menjadi 3,34.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia selama 10 tahun terakhir juga mengalami perlambatan. Angkanya tak beranjak dari kisaran 5 persen. Pertumbuhan ekonomi ini jauh dari target 7 persen pada pemerintahan Jokowi periode pertama dan 6 persen pada periode kedua.
Sekalipun porsi investasi dalam PDB turun, Faisal menilai angka ini masih tergolong relatif tinggi dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Tetapi, dia menilai pertumbuhan ekonomi RI sejatinya bisa lebih tinggi dengan porsi investasi dalam PDB yang sudah turun di sekitar 28 persen. Asalkan pemerintah berhasil menekan ICOR (incremental capital output ratio) yang melonjak tajam selama pemerintahan Jokowi.
Bila dibandingkan dengan negara-negara Asia, menurut Faisal Basri, terlihat kualitas investasi Indonesia lemah dalam menggerakkan industrialisasi. Kandungan teknologi dalam pembentukan modal juga dinilai relatif rendah sehingga tidak terjadi peningkatan produktivitas secara berarti.
ICOR yang tinggi, kata Faisal, mencerminkan investasi tidak efisien. Hal itu akibat praktik mark-up dan korupsi, penunjukan langsung dalam pembangunan proyek-proyek pemerintah, perencanaan yang lemah, serta buruknya manajemen proyek.
Indikasi korupsi semakin marak terlihat dari indeks persepsi korupsi (IPK) yang memburuk. Skor IPK pada 2022 turun tajam dari 38 pada 2021 menjadi 34 pada 2022, sehingga mundur kembali ke pencapaian delapan tahun sebelumnya, yaitu pada 2014.
“Ternyata, kualitas investasi pun buruk,” ucap Faisal Basri. Sekitar tiga perempat pembentukan modal berwujud bangunan, sedangkan dalam bentuk mesin dan peralatan hanya sekitar 10 persen saja selama lima tahun terakhir. Dia menegaskan bangunan semata tidak menghasilkan output fisik tanpa kehadiran mesin dan peralatan, tidak pula mendorong ekspor barang.
SN 09/Editor