Akibat relokasi dua pabrik di Kota Bogor diperkirakan menambah 1.500 angka pengangguran baru
(SPN News) Bogor, karena berbagai sebab salah satunya karena Upah Minimum Kota (UMK) maka sejumlah pabrik/industri di Kota Bogor memilih relokasi ke Provinsi Jawa Tengah. Ini yang terjadi belakangan ini dan membuat 1.500 buruh di dua perusahaan garmen di Kota Bogor terancam kena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal.
Hal tersebut terungkap dalam pertemuan Lembaga Kerja Sama Tripartit (LKST) Kota Bogor dengan Wali Kota Bogor Bima Arya di Balai Kota Bogor.
“Ribuan buruh yang terancam PHK itu, karena dua industri garmen di Kota Bogor merelokasi pabriknya ke daerah Jawa Tengah. Ini menimbulkan permasalahan baru di bidang ketenagakerjaan,” ungkap Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kota Bogor, Samson Purba, (27/9/2018).
Lebih lanjut ia mengatakan, dua pabrik garmen yang sudah merelokasi pabriknya ke Jawa Tengah itu karena perusahaan sulit melakukan daya saing lantaran biaya produksi dan tingginya UMK yang ditetapkan pemerintah.
“Pindah pabrik karena tidak mungkin menurunkan upah namun dengan konsekuensinya terjadi PHK dan ini membuat angka pengangguran tinggi yang dikhawatirkan berpengaruh pada angka kriminalitas,” ujarnya.
Ia menuturkan, pindahnya dua pabrik ini membuat LKST memberikan usulan agar di Kota Bogor ada kawasan industri.
“Meski tidak luas, tetapi minimal kawasan industri itu dapat mengembangkan pabriknya, mengingat keahlian tenaga kerja di Kota Bogor jauh lebih terampil dan mumpuni,” ujarnya.
Selain itu, pengusaha industri ingin adanya jaminan perlindungan dari Pemkot terkait keberadaan industri di Kota Bogor agar bisa dipertahankan ditengah misi Kota Bogor yang sedang mengarah menjadi kota jasa.
“Perusahaan industri jangan sampai stagnan dan ditinggalkan, sebaliknya harus bisa dipertahankan dan dikembangkan mengingat jumlah tenaga kerja setiap tahunnya akan semakin banyak,” jelasnya.
Dalam kesempatan yang sama, Wali Kota Bogor Bima Arya mengatakan, terkait hal ini memang harus dilihat dengan cara yang lebih besar, bukan hanya melihat faktor produksi dan upah tetapi juga pangsa pasar dan permintaan pasar di masa depan.
“Kita juga harus melihat Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang sekarang sedang tahap revisi. Sebab, untuk menyediakan kawasan industri kemungkinan akan terkendala dari sisi ruang yang tersedia di Kota Bogor. Jadi ini perlu bicarakan terlebih dahulu bersama dengan Bappeda Kota Bogor,” jelasnya.
Menurutnya yang penting saat ini, pihaknya memminta Disnaker bisa memberikan database industri yang ada saat ini di Kota Bogor. “Seperti eksistensi industri, jumlah karyawan, omset selama satu tahun, kontribusi terhadap pemerintah, PAD yang masuk, analisis prospek bisnis 10-15 tahun kedepannya,” katanya.
Shanto dikutip dari berbagai sumber/Editor