Penataan BPJS pada bidang kelahiran kemungkinan akan bermasalah pada kelahiran seksio

(SPN News) Jakarta, Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dipandang tidak membuat masyarakat Indonesia menjadi lebih baik. Peraturan yang berlaku mulai (25/7/2018) ini, salah satunya untuk melakukan efisiensi Rp 365 miliar di bidang fisioterapi, katarak dan kelahiran khususnya seksio sesarea dan bayinya.

“Dulu, bayi itu dengan paket seksio dipisah, ada A dan B. Sekarang jadi A saja. Mau bagaimana juga bayinya. Ketika nanti bayi itu sakit, baru. Jadi berarti pada saat dia sebelum lahir, dia dianggap sehat.”
“Sedangkan bayi, ketika dia itu seksio, dia berisiko. Berisiko juga memang dia meninggal, berisiko asfiksi, berisiko cacat. Walaupun pada saat kontrolnya, ini baik dia,” kata Aman Pulungan ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI).

Berdasarkan peraturan baru ini memang tidak diperlukan kehadiran dokter anak dengan segala kelengkapan alatnya saat seksio, jika dipandang tidak ada kelainan sebelumnya.

“Tentunya sumber daya muncul ketika ada kebutuhan medis. Dan ini merupakan ranah dari dokter atau ranah profesi kedokteran terkait dengan penetapan apakah dia membutuhkan sumber daya khusus karena sakit misalnya.”

“Apabila memang dibutuhkan indikasi medis, dia membutuhkan sumber daya khusus, maka BPJS Kesehatan akan membayar pembiayaan itu terpisah,” Nopi Hidayat, Kepala Humas BPJS Kesehatan menjelaskan.

Peraturan baru ini mengatur penjaminan atas bayi yang sehat lahir dari persalinan normal maupun dengan sesar, dengan operasi, maka bila dirawat bersama ibunya pembiayaan ditagih bersama. Kalau sakit, bisa ditagihkan terpisah.

Aturan ini juga menata kriteria operasi katarak atau penjadwalan kembali, disamping fisioterapi yang dijamin sampai dua kali dalam seminggu.
Apakah peraturan BPJS ini tidak mencerminkan semangat memberikan kesejahteraan?

Berbagai pihak memandang peraturan ini melanggar pasal UUD 1945 terutama yang terkait dengan hak hidup sejahtera lahir dan batin memperoleh pelayanan kesehatan.

“Saya bilang karena itu ada di pasal 28, bahwa haknya sama, hak berkeluarga. Bahkan diskriminasi. Saya menganggap dia sebelum lahir saja sudah tidak diperlakukan sama, Coba, hak untuk hidupnya, hak untuk sejahtera, hak untuk berkeluarga. Bagaimana orang punya hak untuk berkeluarga kalau dia lahir kemungkinan dia meninggal, atau dia cacat, kalau dia asfiksi,” Aman yang juga pengajar di Universitas Indonesia menegaskan.

Baca juga:  CAPASITY BUILDING PERWAKILAN ANGGOTA PSP SPN PT PAJITEX

Tuduhan ini dibantah oleh BPJS yang mengatakan setiap peraturan yang dikeluarkan pihaknya telah dibicarakan dan diperiksa kesinkronannya dengan aturan di atasnya.

“Semua kebijakan tentu merujuk kepada, kaitan atau rujukannya kepada, peraturan di atasnya, mulai dari undang-undang, terus turunannya UU 40, dari UU 24 kemudian juga perpres yang terkait, kemudian tentunya juga merujuk kepada peraturan-peraturan ini disusun sesuai dengan proses yang ada,” kata Nopi Hidayat.

Pihak lain memandang adalah terlalu jauh untuk mempertentangkan peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan ini dengan UUD 1945.

” Services seperti ini memang agak terlalu sumir kalau ditabrakkan dengan konstitusi. Yang harus dilakukan adalah apakah peraturan ini bertabrakan dengan pasal-pasal di undang-undang yang organik. Karena kalau konstitusi itu kan hanya panduan-panduan,” kata Tulus Abadi, ketua pengurus harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).

Undang-undang organik yang dimaksud adalah Undang-undang Kesehatan, Rumah Sakit, Anak dan peraturan Kementerian Kesehatan. Sampai sejauh ini YLKI masih akan mempelajari hal ini dengan kondisi di lapangan dan pengaduan konsumen. Peraturan baru ini akan menghemat Rp 365 miliar untuk menutupi defisit triliunan.

BPJS adalah badan pemerintah yang mengalami kesulitan keuangan karena terus mengalami defisit. Pada tahun 2017 tercatat nilainya adalah Rp9 triliun sedangkan di tahun ini akan mencapai Rp12 triliun. Peraturan baru ini dikeluarkan sebagai salah satu langkah untuk mengatasi masalah, dengan melakukan penghematan ratusan miliar Rupiah.

“Prinsipnya ini adalah bagian dari delapan bauran atau sembilan bauran kebijakan yang sudah disusun sebenarnya. Ini adalah bagian dari skema besar pengendalian pembiayaan ataupun bagaimana langkah-langkah strategik secara keseluruhan, tindak lanjut dari rapat tingkat menteri yang mengatur bagaimana memastikan kesinambungan program ini,” kata Nopi Hidayat.

Baca juga:  SPN PERINGATI MAY DAY DENGAN UNRAS DI MABES POLRI

Banyak pihak memandang ini hanyalah langkah jangka pendek yang tidak akan menyelesaikan masalah besar, karena yang perlu dilakukan adalah usaha pencegahan.

“Efisiensi dalam arti bahwa selama ini BPJS bleeding itu harus diapresiasi. Kan kita tahu bahwa BPJS setiap tahun itu bleeding dalam arti tekor. Secara fundamental sebenarnya yang membuat ini tekor karena yang dilakukan BPJS selama ini dominan dari sisi kuratif, bukan preventif,” kata Tulus.

BPJS seharusnya dari hulu sudah mencegah orang untuk tidak sakit, bukannya mengobati orang sakit yang pada akhirnya membuat badan ini defisit, tambahnya.

Sebagian pihak memandang peraturan ini diperkirakan akan meningkatkan angka kematian bayi sehingga tidak akan tercapai sasaran Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) 2030 menurunkan kematian bayi 12/1000. Saat ini angkanya 22-23/1000. Jadi sebaiknya apa yang bisa dilakukan BPJS, untuk membantu kelompok masyarakat yang tidak mampu mendapatkan sarana kesehatan ini?

“Kalau nggak sanggup, naikkan iuran. Co-sharing, yang kekurangan itu harus dibayar pasien kan. Tapi kan tidak mau orang pasti kan jadinya. Yang ketiga kalau saya bilang, negara harus hadir, memang mensubsidi. APBN masukkan jadi memang. Nggak boleh di- cut cut ,” Aman Pulungan berpendapat.

Sementara pihak lain memandang, tiga usulan di atas harus dilihat lebih rinci lagi. Misalnya tentang kenaikan iuran, kata Tulus Abadi.

“Tiga opsi itu memang secara kasat mata memang realistik. Iuran yang ada selama ini memang belum bisa menutup cost production yang ada. Tetapi ini juga berisiko, khususnya untuk pasien yang mandiri dimana dia membayar dengan yang ada di kantong pasien, dimana dia punya pekerjaan yang kurang tetap, gaji yang juga tidak tetap, tetapi harus menanggung iuran yang terus naik,” Tulus Abadi menjelaskan.

Sementara kenaikan iuran bagi PNS dan peserta bantuan iuran tidak akan bermasalah karena semua dipotong gaji atau sepenuhnya ditanggung negara.

Shanto dikutip dari BBC Indonesia/Editor