PHK sepihak di Maluku Utara semakin meningkat
(SPN News) Halmahera, Salah-satu yang kerap menjadi tuntutan dalam aksi buruh adalah terkait jaminan kerja yang masih minim. Hal itu membuat banyak sekali pemutusan hubungan kerja (PHK) secara sepihak oleh perusahaan.
Anto, Ketua DPC Serikat Pekerja Nasional Kota Ternate, mengatakan sampai saat ini, terdapat hampir seribu PHK yang dilakukan perusahaan di Maluku Utara.
“Kami punya data hampir sekitar mendekati seribu PHK buruh, dari 2017 hingga saat ini,” ucap Anto, usai dialog publik tentang refleksi hari buruh 2019 di Borneo Café, pada (1/5).
Ia juga mengaku memegang data tentang PHK buruh di Halmahera Timur, yakni sebesar 300 lebih pada tahun 2017. Anto mengatakan, banyak sekali PHK yang terjadi di Maluku Utara. “Termasuk di Weda Bay Nikel,” katanya.
Tak hanya itu, lanjut Anto, saat ini beredar isu bakal ada PHK di PT. Nusa Halmahera Mineral (NHM), dikarenakan telah terjadi akuisisi dengan perusahaan lain.
“Perusahaan lain mau dipindahkan ke perusahaan lain yang belum ada. Itu bakal mengakibatkan terjadinya PHK besar-besaran,” ucapnya.
Ketua DPC SPN Kota Ternate ini juga menyinggung persoalan kesadaran berserikat di Kota Ternate, di mana para pekerja belum sadar tentang hak-hak mereka. Menurut dia, para buruh di Kota Ternate masih menganggap serikat sebagai sesuatu yang mengancam. Para buruh seakan takut membentuk serikat pekerja, karena diancam oleh pihak perusahaan.
Hal itu senada dengan apa yang diutarakan oleh Sam Hunter Mawikere, bekas karyawan perusahaan tambang di Desa Kawasi, Obi, Halmahera Selatan. Hunter di PHK pada 2017 karena membentuk serikat pekerja.
“Alasannya kontrak kerja berakhir. Tapi ada alasan mendalam dari situ. Waktu itu ada tuntutan teman-teman di sana terkait pembatasan hak beribadah. Setelah pembentukan serikat buruh, beberapa hari sebelum pencatatan di Disnaker Halmahera Selatan selesai, saya sudah keburu dipecat,” kenang Hunter yang sekarang menjadi pemerhati isu buruh.
Hunter menuturkan, perusahaan tempatnya pernah bekerja memang terkesan tidak setuju dengan adanya serikat pekerja. Karena di awal membentuk serikat pekerja, perusahaan menawarkan untuk tidak membuat model serikat pekerja, melainkan Lembaga Kerja Sama Bipartit.
“Kalau LKS Bipartit kan kebijakannya dibentuk oleh pihak perusahaan, mereka enggak menginginkan ada satu kesadaran secara sosial maupun politik yang timbul dari kalangan pekerja,” ujar Hunter.
Ia mengakui bahwa, ada benturan besar antara kesadaran karyawan dalam membentuk serikat pekerja secara mandiri, dengan keterbukaan perusahaan dalam menerima kehadiran serikat itu. Oleh karena itu, ia meminta agar Disnaker mewadahi dan memfasilitasi adanya kehadiran serikat buruh, terutama dari pihak perusahaan. Agar, lembaga tersebut bisa hadir di setiap perusahaan di Maluku Utara.
Terkait hari buruh 2019 ini, SPN Kota Ternate berharap agar Disnaker berperan dalam pemenuhan hak buruh. Karena menurut Anto, itu tidak terlihat dalam peringatan Mayday. “Masih banyak buruh yang bekerja di hari ini,” ujarnya.
Selain itu, ia juga menyingung soal penetapan upah yang menurutnya tidak diberlakukan di berbagai perusahaan di Ternate. “Dewan pengupahan telah menyepakati upah sebesar Rp 2,7 juta untuk upah minimum Kota Ternate, tetapi perusahaan tidak menetapkan upah sesuai anjuran pemerintah,” tandas Anto.
SN 09 dikutip dari Kumparan.com/Editor