Ilustrasi

(SPNEWS) Jakarta, Wakil Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia, Anne Patricia Sutanto mengatakan, guna meminimalkan dampak PHK tahun mendatang pengusaha meminta Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) untuk menerbitkan peraturan menteri ketenagakerjaan atau permenaker tentang jam kerja fleksibel atau flexible working hours. Ini dilakukan agar pihaknya bisa memberlakukan asas no work no pay.

Anne yang juga mewakili para pengusaha yang tergabung dalam APINDO, API, APRISINDO serta Asosiasi Garmen yang dimiliki oleh Korea dan Jepang meminta Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah untuk merilis aturan agar perusahaan bisa memberlakukan jam kerja minimal 30 jam seminggu.
“Saat ini kan undang-undang kita menyatakan 40 jam seminggu. Untuk mengurangi jumlah PHK supaya fleksibilitas itu ada dengan asas no work no pay saat tidak bekerja,” kata Anne dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi IX DPR RI dan Menaker, (8/11/2022).

Lebih lanjut, ia juga meminta dukungan kepada Komisi IX DPR RI untuk merestui aturan yang harapannya bisa dikeluarkan menaker. Sehingga perusahaan bisa mengurangi jumlah orang yang terkena PHK.

Baca juga:  THR DIPOTONG, BURUH PT SELERA HARMONI SEJAHTERA UNJUK RASA

“Oleh karena itu kami mohon kepada komisi IX untuk mengurangi jumlah orang yang di PHK bisa merestui adanya suatu kebijakan dari kemnaker dalam bentuk permenaker sehingga bisa diterima oleh buyers atau global brands yang selalu menginginkan adanya rules of law dari social compliance dari dunia usaha,” ujarnya.

“Kami ingin ini disosialisasikan dalam permenaker dan direstui oleh Komisi IX,” imbuhnya.

Pada kesempatan yang sama, Menaker Ida Fauziyah mewanti-wanti pengusaha dan perusahaan untuk tidak melakukan PHK massal pada tahun 2023. Meskipun ada ancaman dampak resesi ekonomi global.

Dalam menghadapi kondisi itu, Ida mengimbau pengusaha untuk menghindari PHK dengan menerapkan beberapa upaya yang tertuang dalam Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor 907/MEN/PHI-PPHI/X/2004. “Beberapa upaya yang dilakukan untuk menghindarkan dari PHK, antara lain mengurangi upah dan fasilitas tingkat atas, misalnya tingkat manajer dan direktur. Mengurangi shift, membatasi atau menghapus kerja lembur, mengurangi jam kerja,” jelas Ida.

Baca juga:  MTUC PUSAT DAN SPIEU SABAH AKAN JALIN KERJASMA DENGAN SPN

Kemudian, lanjutnya, mengurangi hari kerja, meliburkan atau merumahkan pekerja secara bergilir untuk sementara waktu. Lalu, tidak memperpanjang kontrak pekerja yang sudah habis dan memberikan uang pensiun kepada pekerja yang sudah memenuhi syarat.

Dia juga menekankan kepada pengusaha bahwa PHK adalah pilihan terakhir. Artinya, perlu dilakukan beberapa upaya alternatif lebih dulu.

“Ini beberapa alternatif yang bisa digunakan untuk menekan tidak terjadinya PHK. Sekali lagi ingin saya katakan bahwa PHK benar-benar pilihan terakhir, jika sudah tidak ada pilihan lagi setalah alternatif-alternatif itu dilakukan,” ujarnya.

Selain itu, Ida juga menekankan perusahaan untuk melakukan dialog sosial bipatrit sebelum menerapkan upaya-upaya alternatif dalam SE. Ia bahkan mendorong perusahaan untuk lebih terbuka dan menjelaskan kondisi kepada pekerja.

“Semua alternatif itu dilakukan secara dialog atau bipatrit. Saya kira kalau hubungan industrial itu harmonis, pekerja akan mengerti kondisi perusahaan dan industri tersebut secara terbuka berikan data,” tandasnya.

SN 09/Editor