Gambar Ilustrasi

Mahkamah Agung berpendapat kesalahan dan kecurangan (fraud) dalam pengelolaan dan pelaksanaan program jaminan sosial oleh BPJS yang menyebabkan terjadinya defisit Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan, tidak boleh dibebankan kepada masyarakat

(SPN News) Jakarta, Presiden Jokowi kembali menaikkan iuran BPJS Kesehatan. Padahal, Mahkamah Agung sudah pernah membatalkan kenaikan yang dilakukan Jokowi sebelumnya. Bahkan dalam putusannya, MA menegaskan bahwa defisit anggaran BPJS Kesehatan tidak boleh dibebankan kepada masyarakat dengan menaikkan iuran.

Hal itu termuat dalam pertimbangan MA saat membatalkan kenaikan iuran berdasarkan Perpres 75 Tahun 2019. Salah satu pertimbangan putusannya, MA memandang bahwa Perpres kenaikan iuran BPJS Kesehatan itu tidak mempertimbangkan kemampuan masyarakat.

“Pertimbangan faktual lebih menekankan pada penyesuaian iuran, karena adanya defisit anggaran,” bunyi pertimbangan hakim sebagaimana dikutip dari situs MA, Rabu (13/5).

Menurut MA, berdasarkan fakta yang tak perlu dibuktikan lagi, pemerintah sudah melakukan beberapa kali upaya untuk menutupi defisit anggaran BPJS Kesehatan tersebut. Termasuk melakukan penyesuaian dan menyuntikkan dana. Namun, anggaran BPJS Kesehatan dinilai masih defisit. MA pun menilai akar masalahnya justru luput dari perhatian pemerintah. “Yaitu manajemen atau tata kelola BPJS secara keseluruhan,” bunyi pertimbangan hakim.

Majelis hakim kemudian memaparkan kondisi BPJS Kesehatan mengutip hasil audit BPKP dalam rapat di DPR. Salah satunya ialah selalu defisit setiap tahun sehingga sulit membayar utang ke rumah sakit. Hal itu membuat rumah sakit sulit menjalankan operasionalnya, seperti membeli obat, membayar dokter, dan sebagainya. Kondisi lainnya termasuk data peserta yang tak konsisten, manajemen dan perhitungan tidak dilakukan dengan baik, hingga menunggaknya peserta dalam membayar iuran.

Baca juga:  SAKSI PEMERINTAH DICECAR TENTANG SALAH KETIK UU CIPTA KERJA

Menurut hakim, kondisi-kondisi itu disebabkan beberapa hal. Salah satunya ialah adanya kesalahan dan kecurangan (fraud) dalam pengelolaan dan pelaksanaan program jaminan sosial oleh BPJS Kesehatan.

“Berdasarkan uraian pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah Agung, kesalahan dan kecurangan (fraud) dalam pengelolaan dan pelaksanaan program jaminan sosial oleh BPJS yang menyebabkan terjadinya defisit Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan, tidak boleh dibebankan kepada masyarakat, dengan menaikkan iuran,” bunyi pertimbangan hakim.

“Apalagi dalam kondisi ekonomi global saat ini yang sedang tidak menentu,” sambung pertimbangan itu.

MA pun menyatakan kesalahan dan kecurangan (fraud) pengelolaan dan pelaksanaan program jaminan sosial oleh BPJS tersebut harus dicari jalan keluarnya. Namun tanpa harus membebankan masyarakat untuk menanggung kerugian yang ditimbulkan.

“Dibutuhkan kesadaran bersama berupa kehendak politik (political will) dari Presiden beserta jajarannya selaku pemegang kekuasaan pemerintahan dan niat baik (good will) dari masyarakat dan penyelenggara program jaminan sosial, untuk bersama-sama memperbaiki akar persoalan yang ada, membenahi sistem sekaligus meningkatkan kualitas pelayanan program jaminan kesehatan yang sedang berjalan, agar tujuan untuk memberikan kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat,” papar hakim dalam pertimbangannya.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan itu, majelis hakim memutuskan Pasal 34 ayat (1) dan (2) Perpres 75 Tahun 2019 tidak punya kekuatan hukum mengikat.

Putusan dibacakan pada 27 Februari 2020. Majelis hakim diketuai oleh Hakim Agung Supandi dengan anggota Hakim Agung Yosran dan Yodi Martono Wahyunadi.

Putusan itu membuat tarif kembali ke semula, sebagaimana Perpres 82 Tahun 2018, yakni:

Baca juga:  EKONOMI INDONESIA DIPREDIKSI BISA MINUS 2 PERSEN AKIBAT PANDEMI COVID - 19

a. Rp 25.500 per orang per bulan dengan Manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas III (sebelumnya naik menjadi Rp 42.000)

b. Rp 51.000 per orang per bulan dengan Manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas II (sebelumnya naik menjadi Rp 110.000)

c. Rp 80.000 per orang per bulan dengan Manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas I (sebelumnya naik menjadi Rp 160.000)

Sebagai tindak lanjut putusan MA itu, Jokowi menerbitkan Perpres 75 Tahun 2020. Pasal 34 yang dicabut MA kemudian direvisi Jokowi. Namun, ada tarif baru yang akan mulai berlaku pada 1 Juli 2020.

April – Juni 2020 kembali ke Perpres 82 Tahun 2018
Kelas I Rp 80.000
Kelas II Rp 51.000
Kelas III Rp 25.500

Juli 2020 – seterusnya
Kelas I Rp 150.000
Kelas II Rp 100.000
Kelas III Rp 42.000

1. Peserta Kelas III pada Juli-Desember 2020 tetap membayar Rp 25.500, di mana pemerintah memberikan subsidi iuran Rp 16.500.
2. Peserta Kelas III mulai Januari 2021 akan membayar Rp 35.000, di mana pemerintah memangkas subsidi iuran menjadi Rp 7.000.

Terkait adanya keputusan terbaru yang diambil Jokowi ini, MA enggan berkomentar. Juru bicara MA Andi Samsan Nganro menyebut pihaknya berwenang bila kemudian Perpres itu kembali digugat ke MA.

Secara terpisah, Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) sedang menyiapkan gugatan terkait hal tersebut. Komunitas itu merupakan pihak yang menggugat perpres kenaikan iuran BPJS Kesehatan sebelumnya yang dikabulkan MA.

SN 09/Editor