Dalam kehidupan politik, buruh memang tidak dominan, tapi bukan berarti mereka tidak punya kekuatan.

(SPN News) Jakarta, Secara berturut-turut, pemerintahan  pasca Soeharto mengubah hukum perburuhan yang bertujuan untuk memperluas  hak-hak buruh, mempermudah pembentukan serikat, serta memperbesar ruang kebebasan berbicara dan berkumpul. Pada saat yang bersamaan, proses demokratisasi dan reorganisasi institusi negara juga terus dilakukan dengan memperluas partisipasi buruh di dalamnya. Sebagai contoh, posisi perwakilan serikat di dalam institusi tripartit mulai dari tingkat daerah sampai tingkat nasional.  Bahkan, di beberapa daerah, serikat buruh menjadi bagian dari perangkat pemerintahan yang turut memastikan berjalannya kerja-kerja pengawasan hukum  perburuhan. Demokratisasi  sistem politik juga memberi peluang bagi serikat untuk mendirikan partai buruh dan mempengaruhi jalannya pemilihan umum (pemilu) dengan memastikan terpilihnya politisi yang pro-buruh.

Namun, buruh yang terorganisir gagal memanfaatkan ruang-ruang baru yang tersedia bagi partisipasi politik. Memang, banyak serikat baru yang terbentuk. Tapi, rendahnya kapasitas serikat buruh secara umum, meningkatnya jumlah pengangguran serta semakin kronisnya surplus tenaga kerja, secara efektif telah melemahkan daya tawar serikat ketika berhadapan dengan kelompok bisnis dan negara. Lebih jauh lagi, walaupun jumlah serikat buruh dan anggotanya semakin bertambah, namun mereka cenderung terjebak dalam perselisihan internal di antara serikat buruh itu sendiri, bukannya bekerjasama dengan efektif atau melakukan kampanye bersama, setiap sektor sibuk berkonflik dan terpecah.

Buruh yang terorganisir juga masih kesulitan untuk memastikan keterwakilannya secara efektif di dalam institusi negara. Bahkan, di dalam institusi tripartit yang sudah berubah sekalipun, serikat masih saja harus berjuang untuk menghasilkan kontribusi yang bermakna bagi perbaikan  kesejahteraan para pekerja. Konflik antar serikat yang duduk di dalam dewan tripartit telah melemahkan daya tawar mereka, dan karenanya tidak jarang mereka diperdaya oleh oknum-oknum pejabat negara dan pengusaha yang licik.  Demikian pula di dalam pengaruhnya pada saat pemilu. Dari fakta itu kita sulit mendapatkan gambaran yang cerah mengenai politik gerakan buruh pasca Orde Baru.

Baca juga:  SPN SIDOARJO SIAP MENGIKUTI KONGRES VII SPN

Tetapi apakah potret suram di atas merupakan gambaran utuh dari politik perburuhan di Indonesia dewasa ini ? Coba tengok ke jalan, dan kita akan melihat massa buruh yang turun ke jalan melakukan longmarch, berdemonstrasi, melakukan mogok kerja, yang kesemuanya disebut aksi. Dicabutnya larangan untuk protes secara publik dan berubahnya cara pandang masyarakat secara umum dalam melihat perbedaan pendapat, telah menjadikan aksi sebagai satu metode untuk menentang otoritas, mengintimidasi kelompok lawan, atau untuk kepentingan kampanye semata. Kemudian, hal penting  apa yang bisa kita petik dari gerakan aksi massa ini?

Kelompok buruh melihat protes di jalan ini sebagai satu strategi yang secara fundamental berbeda dengan cara yang lazim digunakan untuk berurusan dengan negara dan kelompok bisnis. Strategi ini tumbuh subur di tengah-tengah ketiadaan atau tidak berfungsinya lembaga-lembaga perwakilan resmi, seperti partai politik, parlemen, termasuk lembaga tripartit. Saat para buruh menilai lembaga-lembaga politik tidak responsif terhadap tuntutan mereka, mereka akan  membuat  saluran  alternatif bagi partisipasi politik dengan menciptakan klaim publik dan aksi kolektif. Politik jalanan memaksakan rekonfigurasi relasi kekuasaan yang tidak bisa didapatkan melalui jalan negosiasi ataupun kesepakatan-kesepatan yang dibuat di dalam institusi-institusi politik formal.

Serikat buruh di Indonesia memang tidak dikenal sebagai organisasi yang disiplin dalam arti tradisional, dengan jumlah kas iuran anggota yang minim, dan administrasi harian yang lemah, namun mereka telah berhasil beradaptasi dengan tuntutan strategi mobilisasi massa yang kemudian membuat mereka terampil dalam mengorganisir pertemuan-pertemuan akbar. Di atas semuanya, serikat buruh telah menjadi kendaraan untuk melakukan protes publik.

Aksi-aksi ini memaksa otoritas untuk melihat para buruh sebagai satu kelompok dan mengakui kekuatan kolektif yang mereka miliki. Para buruh juga berhasil membujuk publik secara umum untuk memperhatikan penderitaan-penderitaan yang selama ini mereka lalui. Strategi turun ke jalan ini mencerminkan kekuatan politik dari kelompok  terpinggirkan di dalam masyarakat kita, yang menunjukkan bahwa mereka mampu memperjuangkan dan menentukan nasibnya sendiri.

Baca juga:  RAKERCAB III DPC SPN KABUPATEN TANGERANG

Aksi-aksi mogok kerja dan protes kelompok buruh juga membantu mengembalikan peran jalanan sebagai ruang politik yang sah bagi kekuatan rakyat. Strategi turun ke jalan, gelombang protes yang terus-menerus dan  mobilisasi  menentang otoritas ikut menciptakan suasana yang sulit dikendalikan. Hal tersebut akan membuat kemungkinan delegitimasi kekuasaan  bisa terjadi kapan saja.

Gelombang protes yang berkelanjutan merongrong pemegang kekuasaan, membuat mereka saling menyalahkan satu sama lain dan memaksa mereka untuk akhirnya mengambil sikap dalam isu-isu populis. Satu contoh adalah proses penentuan upah minimum tahunan yang diselenggarakan  lembaga tripartit. Peristiwa rutin ini seringkali berubah menjadi konflik antara aparat pemerintah lokal, yang memiliki kepentingan untuk mendapatkan dukungan masyarakat  termasuk di kalangan buruh dan kelompok bisnis yang berusaha mempertahankan upah murah. Jadi, walaupun organisasi formal perburuhan seperti serikat buruh itu lemah, para buruh masih bisa mengatur strategi untuk menuntut diperhatikannya kepentingan-kepentingan yang berhubungan langsung dengan kehidupan mereka.

Jalanan adalah tempat di mana kita bisa menemukan kekuatan politik kelas buruh. Di tengah  semakin agresifnya liberalisasi ekonomi dan warisan disorganisasi buruh, jalanan  menyediakan  ruang  bagi masyarakat pekerja di era pasca-otoritarianisme untuk kembali hadir dan meneriakkan tuntutannya.

Dede Hermawan (dikutip dari terjemahan tulisan asli berjudul Locating teh Power of Labour karya Benny Hari Juliawan, Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta : www.insideindonesia.org)/Editor