(SPN News) Perjuangan untuk mewujudkan upah layak menjadi kewajiban kaum buruh sendiri. Menggantungkan harapan kepada Negara dan pemerintah yang pada kenyataannya dimonopoli oleh kaum pemodal adalah keniscayaan dan sejarah telah mencatat bahwa hal tersebut gagal. Realitanya membuktikan bahwa kesejahteraan buruh bukanlah hadiah atau pemberian tetapi hasil dari jerih payah kaum buruh itu sendiri. Oleh karena itu sebagai tahap awal dari rangkaian perjuangan upah layak, maka kaum buruh harus membangun posisi tawar (bargaining position), agar suara dan tuntutan dapat mempengaruhi kebijakan pengupahan yang selama ini cenderung dicampakkan oleh kekuasaan. Buruh selama ini dipandang sebelah mata oleh kekuasaan. Bukan karena posisi dan arti penting kaum buruh yang nihil, namun karena gerakan buruh masih terpencar dan membatasi dirinya hanya sebatas gerakan yang berbasis tuntutan ekonomis.
Dalam membangun posisi tawar yang kuat terhadap Negara, terdapat beberapa aspek yang harus diperhatikan secara seksama, antara lain : Pertama, penguatan serikat atau organisasi buruh. Secara umum, perbandingan antara keseluruhan jumlah buruh di Indonesia dan serikat buruh yang ada, masih terlampau jauh rasio dan jaraknya. Pekerja/buruh di Indonesia secara umum yang menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh dari waktu ke waktu semakin menurun. Menurut data yang ada tahun 2013-2014 pekerja/buruh yang berserikat adalah sekitar 3,4 juta orang tetapi tahun 2016-2017 ini jumlah pekerja yang berserikat tinggal 2,71 juta orang saja. Padahal jumlah pekerja/buruh di Indonesia berkisar 49 juta orang jadi dengan kata lain densitas sp/sb di Indonesia hanya berkisar 5,5% saja sungguh jumlah yang sangat mengkhawatirkan. Selain itu jumlah perusahaan yang memiliki serikat pekerja/serikat buruh semakin berkurang. Menurut data tahun 2013-2014 tercatat ada 14.000an perusahaan yang berserikat, sementara tahun ini jumlahnya hanya tinggal sekitar 7.000an perusahaan dari total 368.000an perusahaan yang ada di Indonesia. Keadaan ini jelas tidak menguntungkan bagi pekerja/buruh karena pada dasarnya keberadaan serikat pekerja/serikat buruh itu adalah sebagai alat perjuangan bagi pekerja/buruh dalam meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya. Jumlah pekerja/buruh yang berserikat ini berbanding terbalik dengan jumlah federasi maupun konfederasi yang ada di Indonesia. Jumlah federasi serikat pekerja/serikat buruh di Indonesia saat ini lebih dari 100 organisasi dan jumlah konfederasi yang mencapai 14 organisasi. Kenyataan ini sungguh menimbulkan keadaan yang tidak sehat karena yang akhirnya “ribut” adalah di tingkatan elit buruh bukan dalam perjuangan untuk membela kepentingan anggotanya akan tetapi sibuk dalam perjuangan untuk kepentingan elit buruhnya saja. Pada akhirnya yang ada adalah saling membajak anggota, saling menjelekkan organisasi satu dengan yang lain yang pada ujungnya nasib pekerja/buruh yang notabane anggota maupun yang belu berserikat menjadi terabaikan. Perlu didorong agar serikat pekerja/serikat buruh itu tumbuh kuat sehingga dapat menjadi tameng bagi pekerja/buruh dari tindakan atau peraturan-peraturan yang merugikan kaum pekerja/buruh dan menjadi pengawas dalam sistem ketenagakerjaan di Indonesia demi tercapainya hubungan industrial yang baik, bermartabat dan berkeadilan sosial, yang pada akhirnya akan menarik bagi pekerja/buruh untuk berserikat sehingga menciptakan kesejahteraan bagi pekerja/buruh beserta keluarganya bukan suatu hal yang mustahil.
Kedua, serikat-serikat buruh yang terpencar dan cenderung berjalan sendiri, harus menemukan muara persatuan sebagai syarat meningkatnya daya dobrak gerakan buruh terhadap Negara dan pemilik modal. Kita mungkin sudah cukup lama mendengar teriakan persatuan diantara berbagai macam kelompok. Tetapi usaha persatuan tersebut selalu gagal pada tataran praktek, atau dengan kata lain, persatuan hanya terbatas pada ide dan gagasan belaka. Kenapa selalu gagal? Secara singkat, setidaknya terdapat 3 (tiga) alasan mendasar mengapa gagasan persatuan ini gagal diterjemahkan dengan baik. Pertama, akibat sentimen serikat yang terlampau besar mendahului tujuan perjuangan buruh. Walhasil, masing-masing kelompok hanya sibuk menonjolkan warna bendera dan eksistensi serikatnya masing-masing, dibandingkan melatih diri untuk bekerja bersama. Kedua, kesenjangan pemahaman (baca : teori) diantara anggota serikat buruh. Hal inilah yang menumbuhkan kecenderungan “politik patronase” dikalangan serikat buruh. Pendapat pimpinan adalah mutlak dan tidak boleh dibantah, rapat dan pertemuan cukup dihadiri pimpinan, kemanapun pimpinan bergerak anggota harus nurut, dll adalah praktek yang akan minihilkan proses belajar bagi anggota. Akibatnya, watak dan karaktek intelektual dengan mentalitas borjuis kecil, tumbuh subur dalam serikat buruh. Ketiga, kelemahan pada level ideologisasi anggota serikat buruh. Ideologisasi bermakna pengetahuan dan pemahaman akan tujuan yang akan dicapai oleh serikat. Apakah tujuan perjuangan buruh sebatas memenuhi tuntutan ekonomis atau selangkah lebih maju menjadi tujuan politis, yakni menghantarkan kaum buruh menuju kekuasaan Negara.
Ketiga, gerakan buruh harus mampu memperluas cakupan isu dan tuntutan. Dengan demikian, gerakan buruh tidak dicap sebagai kelompok yang eksklusif yang berkutat pada isu dan tuntutan disektor buruh saja. Cakupan isu gerakan buruh, harus mampu menarik persoalan yang pada umumnya muncul ditengah massa rakyat. Sebut saja isu Hak Asasi Manusia (HAM), kebebasan berpendapat, kebijakan non-populis pemerintah (kenaikan tarif BBM, TDL, listrik, pendidikan, kesehatan, dll), kenaikan harga-harga kebutuhan pokok, hingga persoalan lingkungan, perempuan, sosial dan budaya. Dengan cara inilah, maka entitas gerakan buruh dapat berdiri tegak dihadapan massa rakyat. Bukan sekedar sebagai kekuatan yang hanya mampu memperjuangkan kaumnya sendiri. Dengan demikian, sokongan dari massa rakyat secara luas juga akan bermuara kepada gerakan buruh, sebagai kekuatan alternatif yang dapat dipercaya.
Keempat, gerakan buruh harus mampu melepaskan diri dari ketergantungan terhadap momentum. Selama ini, gerakan buruh terlampau menjadikan momentum sebagai “zona nyaman”. Sebagai analogi, dalam setahun setidaknya gerakan buruh tidak pernah luput dari 2 (dua) rutinitas momentum, yakni momentum perayaan hari buruh (mayday) dan momentum pembahasan Upah Minimum Propinsi (UMP) dimasing-masing daerah. Terlepas bahwa gerakan buruh harus memanfaat momentum dengan baik, namun gerakan buruh harus mampu menciptakan momentumnya sendiri. Momentum yang tidak hanya secara langsung terkait dengan kepentingan kaum buruh sendiri, namun juga momentum yang menyangkut problem pokok massa rakyat Indonesia. Intensitas melahirkan momentum inilah, menjadi jalan untuk menunjukkan kekuatan kaum buruh sekaligus untuk menguji konsistensi perlawanan terhadap kekuasaan. Posisi tawar gerakan buruh justru akan lebih kuat dengan pola gerakan yang tidak maju mundur dan timbul tenggelam.
Shanto Jabar 6 dikutip dari berbagai sumber/Coed