​Realita para buruh informal yang terlupakan atau mungkin saja dilupakan para pemangku kebijakan dan aktivis buruh.

Kota Yogyakarta merupakan salah satu tujuan wisata di Indonesia, Selain dikenal sebagai Kota Pelajar juga dikenal sebagai salah satu tempat wisata dengan berbagai keunikan yang menjadi daya tarik para wisatawan dari berbagai daerah baik lokal maupun mancanegara.

Salah satu tempat pariwisata yang cukup banyak diminati pangunjung luar daerah Yogyakarta adalah Pasar Beringharjo. Salah satu pasar tradisional yang memiliki peranan yang tidak kalah penting, pasar ini memiliki daya tarik tersendiri bagi pengunjung karena memang letaknya yang sangat strategis yaitu dikawasan Malioboro Jalan A Yani No 16 Yogyakarta.

Keberadaan para buruh atau kuli angkut di pasar, stasiun ataupun tempat umum lainnya sudah menjadi lumrah. Namun, ada yang unik dari para buruh angkut di pasar Beringharjo Yogyakarta ini. Dengan mudah kita akan menemukan para buruh gendong itu ketika memasuki pasar tradisional terbesar di Yogyakarta dan mereka mayoritas adalah perempuan yang usianya tak lagi  muda.

Di usia tua mereka masih harus bekerja dengan mengandalkan fisik, bermodalkan kain selendang dan keranjang mereka mengais rupiah dengan tenaga yang dimilikinya. Setiap hari ibu-ibu yang dikenal sebagai buruh gendong ini berjalan membawa barang dagangan para pedagang pasar maupun barang belanjaan para pembeli. Keringat yang mengucur di wajah mereka seolah memperlihatkan bagaimana beratnya hidup yang mereka alami, walupun buruh gendong dipandang sebagai pekerjaan yang berat namun mereka iklas menjalani profesi tersebut.

Baca juga:  BURUH DI KABUPATEN SUKABUMI SELAMA RAMADAN HARUS PULANG PUKUL 16.30

Salah satu perempuan buruh gendong itu bernama Ponijem. Perempuan berusia 70 tahun asal Kabupaten Kulon Progo Yogyakarta. Kesehariannya sangat keras jika dibandingkan dengan umurnya yang telah lanjut. Menjadi buruh gendong sudah dilakoni Mbah Ponijem sejak anak-anak “Awale mbok kulo. mbok kulo pun meninggal, kulo bingung too arep kerjo opo. Akhire dadi ngene (Awalnya ibu saya. ibu saya sudah meninggal, saya bingung mau kerja apa. Akhirnya jadi  seperti ini)”. Ceritanya

Mbah Ponijem berangkat sejak subuh dari Kulon Progo ikut dengan mobil pick-up yang membawa barang-barang yang akan dijual di pasar Beringharjo, itu dilakukannya setiap hari. Sesampainya di pasar, pekerjaannya memanggul barang dagangan dari parkiran ke toko masing-masing penjual atau membawakan barang pembeli. Rata-rata sekali panggul bisa membawa beban seberat 20 hingga 60 Kg.

Bekerja sebagai buruh gendong tak banyak menghasilkan uang, memang tidak ada tarif pasti kuli gendong, semua tergantung pada kemurahan hati penjual atau pengguna jasa mereka. “Rak mesti.. Ada yang ngasih tiga ribu, lima ribu, dua puluh ribu” ujar ibu lima orang anak ini “Pernah dikasih lima puluh ribu bawa barang beratnya sampai setengah kwintal, pernah juga ada yang ngasih seratus ribu. Saiklasee….” lanjutnya.

Baca juga:  PT WONEEL MIDAS LEATHER TETAP BERSIKUKUH LIBURKAN PEKERJA DENGAN UPAH 25%

Keberadaan buruh gendong memang tak terlepaskan dari pasar tradisional, terutama Pasar Beringharjo Yogyakarta. Sekitar ratusan buruh gendong “Wanita Kuat” membawa barang bawaan dengan berat sampai puluhan bahkan ratusan kilogram. Tak jarang rasa sakit dan nyeri menyerang bagian leher, bahu dan punggung mereka.

Tuntutan ekonomi dan keperluan keluarga yang harus dipenuhi membuat para buruh gendong seakan mengabaikan beban yang dipikulnya. Upah yang tidak banyak, dengan mengorbankan kesehatan mau tidak mau harus mereka jalani. Ini semua demi menyambung hidup dan agar asap dapur tetap terus mengepul.

Barang bawaan dengan berat puluhan bahkan ratusan kilogram yang harus digendong bukan satu-satunya masalah yang harus mereka hadapi, akan tetapi mulai berkurangnya pengunjung untuk membeli kebutuhan di pasar tradisional. Masyarakat kini lebih menyukai berbelanja di pasar swalayan karena tempatnya yang lebih bersih, nyaman dan kemasannya yang lebih menarik.

Sepinya pengunjung secara otomatis membuat penghasilan buruh gendong semakin berkurang. Padahal kebutuhan hidup mereka terus bertambah dan harus terpenuhi. Jika pengunjung pasar berkurang, bukan hanya buruh gendong yang akan merugi tetapi penjual pun akan mengalami dampak yang serupa.

Inaken Jabar 7/Editor