Ilustrasi

(SPNEWS) Jakarta, Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) mengungkap banyak tenaga kesehatan (nakes) yang tidak mendapatkan gaji memadai dan tunjangan hari raya (THR). Padahal profesi mereka bertaruh nyawa di tengah pandemi COVID-19.

Ketua Dewan Pengurus Pusat (DPP) PPNI Bidang Kesejahteraan, Maryanto mengatakan per 30 Mei 2022 ada 717 perawat di seluruh Indonesia yang gugur karena COVID-19. Sayangnya pengabdian itu tidak setimpal dengan yang diberikan negara di mana sebagian dari mereka disebut ada yang bertugas sebagai honorer, relawan, bahkan ada yang tak dibayar.

“Artinya nyawa 717 ini telah kita berikan untuk bangsa dan negara. Seharusnya negara memberikan balasan yang setimpal juga untuk kami sebagai penerus dari rekan-rekan kami yang telah gugur karena dari 717 ini sebagian rekan-rekan kami yang bertugas sebagai honorer, relawan dan ada yang tidak dibayar,” kata Maryanto dalam rapat panja dengan Komisi IX DPR RI, (30/5/2022).

Banyak rekan-rekannya yang disebut pada saat bekerja disodorkan dengan perjanjian kerja yang melanggar ketentuan undang-undang seperti hanya diberi status sukarelawan, hingga honorer.

Baca juga:  AKSI VANDALISME TERHADAP ROMBONGAN SPN KARANGANYAR

“Artinya hari ini ada yang rela memakai baju warna cokelat, baju perawat, tetapi mereka hanya mempertahankan status sosialnya supaya tidak terlihat menganggur,” jelasnya.

Berdasarkan datanya, hanya 24,6% perawat di Indonesia yang mendapatkan gaji sesuai ketentuan upah minimum. Sisanya, 71% berada di bawah standar dan cuma 4,4% yang di atas standar.

Tak cuma gaji, Maryanto mencatat 5.413 aduan yang masuk ke asosiasi mengenai THR. Dari aduan yang masuk, sebanyak 3.296 perawat atau setara 60,9% dari jumlah aduan tersebut mengaku tidak menerima THR.

“Aduan sekitar 5.413 perawat ini melebihi angka aduan rata-rata pekerja nasional yang hari ini saya melihat catatan dalam Kemnaker hanya 2.000 sekian. 60,9% tidak mendapatkan THR, 39,1% mendapatkan,” bebernya.

Hal yang tidak kalah miris adalah tidak semua perawat mendapat fasilitas BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan secara penuh. Hanya 42,4% saja dari total aduan yang mendapat kedua layanan secara penuh, sisanya tidak.

Baca juga:  KASUS COVID-19 INDONESIA LAMPAUI RATA-RATA KASUS DUNIA

Berbagai keluhan dari perawat terjadi dinilai karena beberapa faktor. Salah satunya karena pemerintah pusat memberi dana alokasi umum (DAU) yang rendah ke pemerintah daerah.

“Mengacu ke Permendagri, belanja pegawai tidak boleh lebih dari 30% (dari total APBD), ini menjadi alasan pemda tidak berani membuka formasi (PNS) secara luas yang sekarang dilakukan di guru,” katanya.

Alhasil para perawat tidak bisa berstatus sebagai PNS yang memiliki standar gaji dan tunjangan yang jelas. Dengan demikian, perekrutan mereka hanya bisa sebatas honorer hingga relawan dengan tunjangan yang minim.

“Ini mudah-mudahan Kemenkeu memberikan DAU untuk hal tersebut sehingga kami mendapat kepastian,” ungkapnya.

Di sisi lain, Maryanto meminta pemerintah serius mengafirmasi alias memberi kepastian jabatan bagi perawat. Sebab, saat ini masih ada 2.328 perawat yang berstatus kontrak.

“Agar 2.328 perawat ini mendapatkan keseriusan dari pemerintah,” pungkasnya.

SN 09/Editor