Kualitas bagus dan harga yang murah membuat barang import membanjiri pasar e-Commerce Indonesia

(SPN News) Jakarta, pesatnya perkembangan perdagangan elektronik atau e-Commerce di Tanah Air bagai dua sisi mata uang. Satu sisi memberi manfaat peningkatan akses pengusaha kecil lokal, namun, di sisi lain produk impor semakin membanjiri pasar dalam negeri. Apalagi saat ini ada penjual asing atau yang disebut crossborder merchant bisa langsung membuka lapak di situs jual beli (marketplace) Indonesia. Harga yang ditawarkan cukup murah dengan kualitas tak mengecewakan.

Berdasarkan catatan Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan, sepanjang tahun lalu, penerimaan bea masuk maupun pajak impor barang e-commerce menyentuh Rp 1,19 triliun. Jika dipukul rata, penerimaan impor e-commerce setiap bulannya mencapai Rp 99,2 miliar di 2018. Sementara, di awal tahun ini, penerimaan dari impor e-commerce mencapai Rp 127,17 miliar hingga 10 Februari 2019 lalu.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bima Yudhistira, menyatakan apabila kondisi ini secara terus menerus dibiarkan maka berdampak buruk pada perekonomian Indonesia. Sebab, jika perdagangan impor meningkat, defisit neraca perdagangan Tanah Air semakin melebar dan berujung pada rapuhnya struktur ekonomi dalam negeri.

“Kalau menurut saya ini agak cukup berisiko dan berbahaya bagi struktur perekonomian,” katanya di Jakarta, Senin (8/4).

Bima menilai, jika melihat produktivitas ekonomi jangka panjang, yang akan mendapat keuntungan dari booming digital ini justru bukan produksi dalam negeri. Akan tetapi barang-barang dari impor.

“Ini yang menjadi pertanyaan. Akhirnya bisa dibilang dengan adanya e-commerce ini kita memakmurkan produsen di negeri orang bukan produsen dalam negeri,” imbuhnya.

Maka dari itu, dibutuhkan strategi untuk menjaga kestabilan ekonomi Indonesia dari guyuran barang impor tersebut. Bima mengatakan, paling tidak ada batasan terkait porsi penjualan yang diterapkan di e-commerce.

“Saya kira kalau di super market itu yang fisik sudah ada kebijakan untuk minimun sekian persen itu adalah barang produksi dalam negeri ada kebijakan itu,” jelasnya.

“Nah kalau yang untuk e-commerce saya kira juga harus ada kebijakan minimum sekali barang dalam negerinya adalah 60 persen 40 persen boleh impor, tapi minimum sekali 60 persen adalah barang dalam negeri khususnya UMKM,” tambah Bima.

Kemudian strategi kedua yang mesti dilakukan pemerintah untuk menekan perdagangan impor di perdagangan elektronik bisa dengan meningkatkan tarif Pajak Penghasilan (PPh) untuk barang impor.

Selanjutnya paling penting, kata Bima, adalah bagaimana produk dalam negeri dapat bersaing dengan barang-baramg impor. Tentu saja, dengan meningkatkan produktivitas dari UMKM kita.

“Maka ini diperlukan permodalan pendampingan diperlukan aneka insentif kemudian aneka digitalnya juga diperbaiki, akses infrastrukturnya juga diperbaiki sehingga UMKM itu bisa menghasilkan produk yang relatif lebih terjangkau dan kompetitif dengan barang impor dari asing,” pungkas Bima.

Baca juga:  KESAKSIAN ATAS KASUS KETUA PSP SPN PT KAHOINDAH CITRAGARMENT

Wakil Presiden Jusuf Kalla sempat mengeluhkan produk yang dijual di e-commerce Indonesia didominasi produk asal China. JK mendapat laporan bahwa 94 persen produk yang diperdagangkan di e-commerce Indonesia berasal dari China.

“Retail sudah cukup baik, di mana-mana kita berjalan ada toko retail. Kita berjalan ada toko ritel yang menjual harus produksi. Tapi produktivitas kita sendiri saya mendengar dari laporan e-commerce 94 persen yang dijual e-commerce adalah barang China, angkanya tidak terlalu jelas, tapi tinggi sekali,” ujar Wapres JK.

Direktur Indef, Enny Sri Hartati, menilai kondisi ini bisa terjadi karena kesalahan pemerintah sendiri. Pemerintah tidak membuat aturan yang jelas sehingga pengusaha bisa bebas menjual produk mereka.

“Jangan salahkan yang jual, ini salah pemerintah. Seharusnya ada aturannya, seperti bayar pajak, teregister seperti halnya seperti orang jual di Indonesia,” kata Enny.

Enny menyarankan kepada pemerintah agar segera bergerak dan membuat aturan jelas soal ini. Barang atau produk yang dijual di online sebaiknya teregister dan meminta izin sebelum memasarkannya. Selain itu, kualitas barang juga harus diuji apakah sesuai SNI atau tidak.

Pemerintah melalui Direktur Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan, Heru Pambudi, mengatakan telah membuat Pusat Logistik Berikat (PLB) e-commerce khusus untuk barang yang diperdagangkan dari luar negeri. Upaya tersebut untuk mengendalikan maraknya barang e-commerce impor yang diperdagangkan di Indonesia.

“Perkembangan e-commerce itu ada peluang sekaligus ada ancaman. Kami tidak ingin kehilangan kesempatan, kemudian barang-barang Indonesia yang diperdagangkan itu sentra logistiknya di luar negeri, sementara konsumennya lebih banyak di Indonesia,” ujarnya.

Heru mengatakan, produsen e-commerce dalam negeri masih cukup minim. Untuk itu, dengan pembentukan PLB e-commerce pemerintah dapat mengontrol barang-barang yang masuk dari luar negeri.

“Kami fasilitasi dalam bentuk memberi ruang dalam PLB e-commerce kepada industri domestik yang bergerak di bidang e-commerce. Bentuknya, PLB khusus e-commerce atau e-commerce distribution center,” jelasnya.

Lebih lanjut, Heru menjelaskan, adanya PLB e-commerce ini tentu menimbulkan kekhawatiran bagi industri lokal. Salah satunya, kebijakan ini akan mempersulit industri lokal karena semakin mudah bagi barang e-commerce luar negeri masuk ke Indonesia.

“Kami antisipasi dengan bentuk regulasi, barang dari PLB e-commerce yang akan dimasukkan ke lokal, tidak bisa menikmati de minimus. Itu adalah threshold di mana dia bisa memanfaatkan pembebasan, yang itu adalah masih USD 100,” jelasnya.

Heru menambahkan, pihaknya juga nanti akan mewajibkan pelaku PLB e-commerce menampung produk-produk dalam negeri yang diperdagangkan di e-commerce. Ini tentunya untuk mendukung industri dalam negeri supaya juga bisa mampu bersaing di e-commerce.

“Harapannya, pelaku industri e-commerce masih bisa menikmati kelancaran pemasukan dan pengeluaran. Tetapi, dia tidak mengganggu industri luar negeri juga karena fiskalnya kami proteksi,” tandasnya.

Baca juga:  UMP 2021 BISA TIDAK NAIK

Ketua Dewan Pembina Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA), Hendrik Tio, mengatakan perdagangan di e-commerce pada dasarnya adalah media baru penjualan dari yang sudah ada di offline. Baik itu produk lokal maupun impor.

“Bahwa lebih banyak produk impor yang terjual di e-commerce itu alamiah terjadi. Oleh karenanya yang perlu ditinjau justru bagaimana situasi produk impor di pasar offline karena sebelum ada e-commerce seperti hari ini pun, produk impor sudah ada di warung, pasar, departemen store, bahkan mal,” katanya kepada Merdeka.com melalui pesan singkat.

Hal senada juga diutarakan oleh pengamat e-commerce, Daniel Tumiwa. Dikatakan Daniel, e-commerce merupakan cerminan dari perdagangan secara konvensional. Perbedaannya hanya memanfaatkan teknologi untuk bisa menghasilkan kemudahan dan keuntungan.

Di sisi lain, tak bisa dipungkiri bahwa barang-barang yang berasal dari China begitu diminati oleh masyarakat Indonesia. Baik dari sisi kualitas maupun harga yang ditawarkan. Sehingga wajar bila terjadi permintaan dari pasar. Keadaan semacam ini terjadi jauh sebelum boomingnya e-commerce di negeri ini.

“Jadi jangan dikaitkan langsung dengan e-commerce. Sebelum ada e-commerce, ada ITC. 90 persennya barang-barangnya juga berasal dari China. Intinya adalah konsumen negeri ini suka dengan barang-barang China karena harga dan produk yang cukup berkualitas,” jelasnya.

Sementara dari segi aturan, lanjutnya, pemerintah sendiri memberlakukan barang-barang yang bernilai di bawah USD 100 bebas masuk ke Indonesia. Alias tanpa bea masuk. Aturan ini pada akhirnya dimanfaatkan oleh para pedagang. Membawa barang-barang murah dan cukup berkualitas untuk diimpor.

“Maka siapapun yang membuka usaha, online ataupun offline akan bergerak memanfaatkan aturan itu. Karena aturan tersebut dianggap sebagai insentif. Sebagai pedagang tentunya ingin mendapatkan untung yang besar. Alhasil, mereka pun mencari barang-barang dari luar yang dijual murah kemudian diimpor,” terang dia.

Untuk meminimalisir membludaknya barang-barang dari China, kata Daniel, peran UKM sangat dibutuhkan. Terlebih soal harga dan kuantitas yang dihasilkan tanpa mengesampingkan kualitas. Harus diakui, kekurangan UKM di negeri ini adalah soal produksi barang yang cenderung kurang konsisten. Misalnya saja, ketika ada pembeli yang menginginkan barang dagangannya dalam jumlah besar. Namun, UKM tak bisa memenuhi permintaan itu karena persoalan kapasitas produksi.

Daniel pun mendorong agar pemerintah menjadikan UKM-UKM negeri ini bisa berubah menjadi IKM atau Industri Kecil Menengah. Tujuannya supaya mampu bersaing dengan barang-barang dari China.

“Di China UKM sudah mulai 20 tahun yang lalu, kemudian bertransformasi menjadi IKM. Jadi wajar akibatnya barang-barang yang dijual di e-commerce pun kebanyakan dari China,” jelasnya.

SN 09 dikutip dari berbagai sumber/Editor