Ilustrasi

(SPNEWS) Pada UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan pemberian uang pisah dapat diberikan kepada dua jenis PHK yaitu :

1. Pasal 162 sehubungan dengan karyawan yang mengundurkan diri secara sukarela; dan
2. Pasal 168 atas karyawan yang mangkir lima hari berturut-turut.

Kedua pasal tersebut telah dihapus oleh UU Cipta Kerja dan sudah tidak dapat menjadi dasar dalam hal terjadinya PHK. Namun demikian, PP 35/2021 tetap mengatur kondisi apa saja karyawan yang berhak mendapatkan Uang Pisah ketika terjadi PHK.
1. Pasal 36 huruf (i) karena karyawan mengundurkan diri secara sukarela
2. Pasal 49 karena pengusaha tidak terbukti melakukan perbuatan-perbuatan kepada karyawan.
Daftar perbuatan tersebut diatur dalam Pasal 36 huruf (g), yakni:
a. menganiaya, menghina secara kasar, atau mengancam Pekerja/ Buruh;
b. membujuk dan atau menyuruh Pekerja/Buruh untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
c. tidak membayar Upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih, meskipun Pengusaha membayar Upah secara tepat waktu sesudah itu;
d. tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada Pekerja/Buruh;
e. memerintahkan Pekerja/Buruh untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang diperjanjikan; atau
f. memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan, dan kesusilaan Pekerja/Buruh sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada Perjanjian Kerja;
3. Pasal 51 karena karyawan telah mangkir selama lima hari kerja atau berturut-turut tanpa keterangan yang jelas setelah dilakukan pemanggilan yang patut;
4. Pasal 52 ayat (2) karena karyawan telah melakukan pelanggaran yang bersifat mendesak;
5. Pasal 54 ayat (1) karena karyawan tidak dapat melakukan pekerjaan selama enam bulan akibat ditahan pihak berwajib karena diduga telah melakukan tindak pidana yang menyebabkan kerugian perusahaan;
6. Pasal 54 ayat (4) karena karyawan diputus bersalah melakukan tindak pidana sebelum masa penahanan enam bulan berakhir.

Baca juga:  RAKORDASUS DPD SPN JAWA BARAT

Sehingga dapat kita ketahui bahwa pemberian Uang Pisah dalam UU Cipta Kerja diterapkan untuk enam jenis PHK. Ketentuan ini lebih banyak dari penerapan Uang Pisah pada masa UU Ketenagakerjaan, yakni hanya dua jenis PHK.

UU Cipta Kerja tidak memberikan pengecualian karyawan mana saja yang dapat diberikan Uang Pisah. Selama memenuhi kondisi–kondisi di atas, karyawan berhak atas Uang Pisah. Hal ini berbeda jika dibandingkan dengan pengaturan pada masa berlakunya Pasal 162 ayat 2 UU Ketenagakerjaan yang dengan tegas mengatur: “2. Bagi pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, yang tugas dan fungsinya tidak me-wakili kepentingan pengusaha secara langsung, selain menerima uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) diberikan uang pisah…”

Dengan aturan tersebut, dulunya hanya karyawan yang tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung yang berhak atas Uang Pisah apabila karyawan tersebut mengundurkan diri. Namun demikian, pada praktiknya tidak semua perusahaan menerapkan hal ini.

Bagaimana jika Uang Pisah tidak diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama? Sebagaimana disampaikan di atas, dalam UU maupun PP, besaran dan cara pemberian Uang Pisah diserahkan untuk diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama.

Sebagai contoh, berikut pengaturan mengenai uang pisah dalam suatu Peraturan Perusahaan: 1. Uang Pisah diberikan kepada karyawan yang mengundurkan diri maupun jenis PHK lainnya yang ditentukan oleh undang-undang maupun aturan ketenagerkerjaan lainnya; 2. Besaran uang pisah yang diterima karyawan adalah sebagai berikut:
a. Masa kerja kurang dari 3 tahun: satu bulan gaji pokok
b. Masa kerja 3 tahun atau kurang dari 10 tahun: dua bulan gaji pokok
c. Masa kerja 10 tahun atau kurang dari 15 tahun: tiga bulan gaji pokok
d. Masa kerja 15 tahun atau lebih: lima bulan gaji pokok
Apabila dalam suatu perusahaan tidak mengatur mengenai besaran Uang Pisah, bukan berarti karyawan tidak berhak atas pemberian Uang Pisah.

Baca juga:  SELAIN COVID-19, OMNIBUS LAW MEMICU WABAH BARU

Apabila terjadi perselisihan hubungan industrial terkait Uang Pisah, sangat mungkin Majelis Hakim menetapkan suatu besaran Uang Pisah untuk karyawan yang telah memenuhi ketentuan. Sebagai contoh dalam suatu kasus perusahaan tidak mengatur mengenai besaran Uang Pisah, maka Majelis Hakim menentukan bahwa Uang Pisah yang berlaku adalah sebesar Uang Penghargaan Masa Kerja. Putusan tersebut telah diperkuat oleh putusan Mahkamah Agung No.587 K/Pdt.Sus/2008 yang menyatakan bahwa:
“ …judex facti tidak salah menerapkan hukum dan putusan judex facti (Pengadilan Hubungan Industrial) yang memutuskan besarnya uang pisah karena belum diatur dalam Perjanjian Kerja/Peraturan Perusahaan/Perjanjian Kerja Bersama dapat dibenarkan guna memenuhi rasa keadilan dan kekosongan hukum.

”Dengan demikian, sebaiknya perusahaan menetapkan besaran Uang Pisah dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja Bersama agar terhindar dari kemungkinan penetapan Uang Pisah oleh Majelis Hakim. Majelis hakim dapat menetapkan Uang Pisah di atas kemampuan perusahaan sehingga memberatkan perusahaan.

SN 09/Editor