Ilustrasi
Pada prinsipnya pengusaha dilarang membayar upah pekerjanya di bawah upah minimum
(SPNEWS) Jakarta, Setiap tahunnya, permintaan agar pengusaha memberikan upah kepada pekerja/buruh sesuai dengan UMP atau UMK yang berlaku menjadi salah satu tuntutan rutin yang diminta oleh pekerja/buruh. Sayangnya, meskipun telah dikeluarkan aturan dan penegasan sanksi bagi perusahaan yang membayar upah pegawainya di bawah standar minimum yang berlaku, dalam praktiknya pemberian upah dibawah minimum tetap terjadi. Pekerja tidak tetap atau susah cari kerja seringkali dijadikan salah satu alasan perusahaan abai terhadap aturan mengenai pemberian upah.
Pada prinsipnya, pengusaha dilarang untuk membayar upah lebih rendah dari upah minimum kepada pekerja/buruh. Hal ini dengan tegas diatur dalam Pasal 81 angka 25 UU Cipta Kerja. Lebih lanjut, upah dapat ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh di perusahaan. Namun, pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Artinya, kesepakatan upah antara pekerja/buruh dengan perusahaan harus berada di atas upah minimum provinsi atau upah minimum kabupaten/kota yang telah ditetapkan oleh gubernur.
Apabila dalam kesepakatan, upah yang dibayarkan ternyata lebih rendah atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesepakatan tersebut dapat batal demi hukum dan pengaturan pengupahan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Meski demikian, ketentuan mengenai upah minimum diatas dapat dikecualikan untuk badan usaha berbentuk Usaha Mikro dan Kecil. Hal ini karena upah pada Usaha Mikro dan Kecil dapat ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/ buruh di perusahaan.
Ketika seorang pekerja/buruh menerima upah dibawah standar minimum yang ditetapkan oleh gubernur, maka pekerja/buruh juga dapat melakukan berbagai upaya hukum, diantaranya :
Perundingan Bipartit
Perundingan bipartit adalah perundingan antara pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial. Menurut UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, penyelesaian perselisihan yang dilakukan melalui bipartit harus diselesaikan paling lama 30 hari kerja sejak tanggal dimulainya perundingan. Apabila dalam jangka waktu yang ditetapkan, salah satu pihak menolak untuk berunding atau telah dilakukan perundingan tetapi tidak mencapai kesepakatan, maka perundingan bipartit dianggap gagal dan perselisihan tersebut harus dicatatkan kepada instansi pemerintah dibidang ketenagakerjaan dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan. Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kemudian akan melimpahkan penyelesaian perselisihan kepada mediator.
Mediasi Hubungan Industrial
Dalam hal tidak terjadi kesepakatan dalam perundingan bipartit, maka pengusaha dan pekerja/buruh dapat menyelesaikan permasalahan upah melalui mediasi. Mediasi dalam hubungan industrial adalah penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral. Dalam hal ini mediator merupakan pegawai instansi pemerintah yang bekerja di Dinas Ketenagakerjaan dan ditugaskan untuk menjadi mediator oleh Menaker.
Apabila terjadi kesepakatan dalam mediasi, maka kesepakatan tersebut harus dituangkan dalam Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan disaksikan oleh mediator serta didaftar di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah hukum pihak-pihak mengadakan Perjanjian Bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran. Jika mediasi tidak menemui titik temu, mediator harus memberikan anjuran tertulis. Jika anjuran tertulis juga ditolak oleh salah satu pihak atau para pihak, maka para pihak atau salah satu pihak dapat melanjutkan penyelesaian perselisihan ke Pengadilan Hubungan Industrial.
Gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial
Penyelesaian perselisihan melalui pengadilan dapat dilakukan dengan pengajuan gugatan oleh salah satu pihak di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat. Pengajuan gugatan harus melampirkan risalah penyelesaian melalui mediasi yang telah ditempuh sebelumnya. Serikat pekerja/serikat buruh dan organisasi pengusaha dapat bertindak sebagai kuasa hukum untuk beracara di Pengadilan Hubungan Industrial untuk mewakili anggotanya.
Upaya Hukum Pidana
Sebagai informasi, pengusaha juga dapat dikenakan sanksi pidana apabila melanggar ketentuan pemberian upah. Pasal 88 angka 63 UU Cipta Kerja menyebutkan barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud salah satunya Pasal 88A ayat 3 atau membayar upah lebih rendah dari upah minimum maka dapat dikenai sanksi pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 4 tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100 juta (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 400 juta. Tindak pidana tersebut termasuk kedalam tindak pidana kejahatan sehingga pegawai/buruh dapat melaporkan ke polisi dan menempuh upaya hukum pidana terhadap pengusaha.
SN 09/Editor