Gambar Ilustrasi
Gelisah kaum buruh yang harus tetap kerja di tengah pendemi Corona
(SPN News) Jakarta, ketika ASN dan pegawai kantoran mulai bekerja dari rumah untuk mengantisipasi virus corona Covid-19, para buruh masih harus terus bekerja di pabrik, berjibaku dengan material yang mayoritas impor dan kemungkinan membawa virus tersebut. Memang sudah ada surat edaran dari Menaker atau Disnaker di tiap daerah, tetapi nyatanya sampai berita ini ditulis belum ada satu pun pabrik yang diliburkan untuk memutus penyebaran mata rantai covid-19.
Buruh – buruh pabrik maupun buruh yang lain seperti kurir, buruh restoran dan lain – lain rentan terpapar virus corona karena harus bekerja dan tidak dapat mengisolasi diri selama pandemi. Selain itu sebagain besar dari buruh – buruh tersebut jaminan kesehatannya banyak yang tidak ditanggung pemberi kerja. Pilihan dari mereka kini terbatas antara bekerja keluar rumah demi tetap berpenghasilan atau mengkarantina diri dan menganggur di rumah.
Linda, buruh di salah satu pabrik garmen berorientasi ekspor di Kawasan Berikat Nusantara Cakung, menyebut perusahaannya tak mengambil kebijakan strategis untuk mengurangi risiko penularan virus corona.
Linda berkata, ia dan sekitar 900 buruh lain di pabriknya masih terus beraktivitas normal: memproduksi 60 potong pakaian per 30 menit selama delapan jam di ruang kerja yang padat.
“Kami tentu sangat khawatir dan ketakutan, apalagi kami kerja berdekatan, tidak ada jarak satu sama lain,” kata Linda.
“Sudah dua hari ini ada pengecekan suhu tubuh setiap pagi. Kami diberi masker, tapi itu kami sendiri yang buat menggunakan bahan sisa pabrik. Itu tidak menghilangkan kecemasan.”
“Kami wajib bekerja semua. Selagi belum meninggal, ya harus bekerja. Kalau tidak masuk, upah kami tidak dibayar, kecuali ada surat keterangan sakit dari dokter,” ujar Linda.
Linda menuturkan, ia dan para koleganya sudah mendorong perusahaannya melonggarkan aktivitas produksi selama pandemi virus corona. Namun kesepakatan urung terjalin.
Seperti saat banjir Jakarta di awal tahun 2020, Linda khawatir libur yang didapatkannya justru harus ditebus dengan bekerja saat libur akhir pekan dan tanggal merah.
“Saya ingin ada ketegasan pemerintah, jika kami diliburkan, kami jangan dibiarkan bernegoisasi sendiri tentang upah. Harusnya soal upah jangan berdasarkan kesepakatan perusahaan dan buruh,” ujarnya.
SN 09/Editor