Ilustrasi
(SPNEWS) Jakarta, Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Budi Arie Setiadi bersama Komisi I DPR RI baru saja mengesahkan revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (RUU ITE) menjadi UU ITE.
Budi Arie menjelaskan kalau revisi UU ITE untuk kali kedua ini merupakan wujud tanggung jawab Pemerintah untuk mengedepankan perlindungan kepentingan umum serta bangsa dan negara.
“Sama halnya dengan ruang fisik, pemerintah memiliki tanggung jawab untuk memenuhi hak asasi manusia (HAM) bagi pengguna internet Indonesia di ruang siber, seperti yang telah tertuang pada konstitusi Indonesia,” katanya dalam siaran pers, dikutip (6/12/2023).
Setidaknya ada lima alasan Budi Arie soal kenapa pemerintah perlu merevisi UU ITE. Pertama, ada penerapan norma-norma pidana dalam UU ITE yang dianggap multitafsir hingga menimbulkan stigma pasal karet.
“Sehingga banyak pihak yang menganggap norma-norma UU ITE multitafsir, karet, memberangus kemerdekaan pers, hingga mengancam kebebasan berpendapat,” beber dia.
Kedua, UU ITE saat ini belum memberikan perlindungan optimal bagi warganet Indonesia. Budi Arie mencontohkan, penggunaan internet untuk kalangan anak-anak masih belum diatur.
Padahal, penyelenggara sistem elektronik (PSE) harus mengambil tanggung jawab dalam memenuhi hak-hak anak, sekaligus melindungi anak dari bahaya atau risiko fisik dan psikis.
“Dalam berbagai situasi, anak belum memiliki kapasitas atau kemampuan untuk memahami risiko dan potensi pelanggaran haknya dalam produk atau layanan digital,” tuturnya.
Ketiga, Menkominfo menyatakan Pemerintah memperhatikan pembangunan ekosistem digital yang adil, akuntabel, aman, dan inovatif. Lebih lagi Indonesia memiliki potensi ekonomi digital yang besar, yang diperkirakan akan menyumbang sepertiga potensi ekonomi digital di kawasan ASEAN.
“UU ITE yang ada saat ini perlu mengoptimalkan peran pemerintah dalam membangun ekosistem digital. Melihat besarnya potensi ekonomi digital Indonesia, pemerintah perlu memperkuat regulasi dalam memberikan perlindungan pengguna layanan digital Indonesia dan pelaku UMKM,” paparnya.
Keempat, Budi Arie menginginkan kalau UU ITE ini lebih kuat dalam mengatur perkembangan layanan sertifikasi elektronik seperti tanda tangan elektronik, segel elektronik dan autentikasi situs web, serta identitas digital.
“Indonesia butuh landasan hukum yang lebih komprehensif dalam membangun kebijakan identitas digital serta layanan sertifikasi elektronik lainnya,” imbuhnya.
Terakhir, Budi Arie menegaskan kalau perubahan UU ITE amat diperlukan karena berkaitan dengan penegakan hukum. Sebab saat ini dia menilai kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) harus diperkuat untuk melakukan penyidikan tindak pidana siber, khususnya yang menggunakan rekening bank dan aset digital dalam skema kejahatan.
“Dalam hal ini, PPNS di sektor informasi dan transaksi elektronik (ITE) butuh kewenangan untuk memerintahkan penyelenggara sistem elektronik dalam melakukan pemutusan akses sementara terhadap rekening bank, uang elektronik, dan/atau aset digital,” tandasnya.
SN 09/Editor