Gambar Ilustrasi

Dekan Fakultas Hukum UII Yogyakarta Abdul Jalil membeberkan poin-poin yang merugikan pekerja pada RUU Cipta Kerja

(SPN News) Yogyakarta, Dekan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Abdul Jamil mengatakan, ada beberapa bab krusial yang harus mendapat perhatian dari RUU Omnibus Law tersebut. Di antaranya dari aspek filosofis dan sosilogis. Aspek filosofis ruh atau semangat di balik metode omnibus law dalam RUU Cipta Kerja, hanya untuk kepentingan investasi bukan dalam rangka harmonisasi berbagai peraturan perundang-undangan.

Dari aspek sosiologis, Abdul Jamil memandang saat ini masyarakat belum membutuhkan, terutama jika dikaitkan dengan isinya yang cenderung mengedepankan kepentingan investasi/pemodal. RUU Cipta Kerja cenderung top-down dan bukan bottom-up dari masyarakat yang membutuhkan pengaturan.

Dari aspek ketenagakerjaan, RUU Cipta Kerja potensial merugikan hak-hak pekerja. Beberapa hal yang akan memberatkan tenaga kerja berdasarkan RUU Cipta Kerja antara lain, tidak dikenalnya upah minimum kabupaten dan kota atau upah sektoral, upah bergantung pada pertumbuhan ekonomi di daerah yang bersangkutan (bukan berdasarkan inflasi), dan penghitungan upah dalam satuan waktu (jam).

“Ketentuan-ketentuan di atas akan merugikan pekerja karena penetapan upah minimum hanya di tingkat provinsi akan menimbulkan kecemburuan, terutama untuk provinsi yang pertumbuhan inflasinya berbeda antara satu kabupaten/kota dengan kabupaten/kota lainnya,” ungkap Abdul Jalil yang mewakili civitas akademika FH UII.

Baca juga:  DPR KLAIM TIDAK PUNYA HAK MEMBAHAS PERPPU CIPTA KERJA

“Pengaturan upah dalam satu waktu (per jam) akan mendegradasi perlindungan upah. Kenaikan upah minimum memperhitungkan pertumbuhan ekonomi dan tidak menyertakan inflasi berpotensi menyebabkan adanya migrasi buruh ke daerah yang upah minimumnya tinggi,” katanya.

RUU Cipta Kerja juga menghilangkan kompensasi akibat PHK berupa uang penggantian hak dan besaran uang penghargaan masa kerja dikurangi dari maksimal 10 bulan upah menjadi hanya 8 bulan upah. Selain itu, RUU Cipta Kerja juga semakin menumbuhsuburkan sistem kontrak outsourcing dan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). RUU Cipta Kerja tidak mengatur pembatasan alih daya atau outsourcing dan kontrak.

PKWT atau kontrak dapat saja dikontrak “seumur hidup” tergantung kesepakatan. Perlindungan hukum terhadap buruh outsourcing dan buruh kontrak dalam skema PKWT semakin rentan karena sangat mungkin investor memilih buruh dengan skema kontrak dan outsourcing untuk menghindari risiko ketenagakerjaan dan lebih fleksibel.

Baca juga:  THR TIDAK SESUAI, BURUH 2 PABRIK DI KABUPATEN SUKABUMI UNJUK RASA

RUU Cipta Kerja juga berpotensi memuluskan penggunaan tenaga kerja asing (TKA) karena tidak perlu izin Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing dari Pusat, termasuk untuk jenis pekerjaan seperti misalnya vokasi, start-up, kunjungan bisnis, dan lain-lain. Dengan demikian, investor asing berpotensi membawa tenaga kerja dari negara asalnya.

Negara semestinya melindungi segenap dan seluruh tumpah darah Indonesia, salah satunya melalui pembentukan undang-undang. Namun, RUU Cipta Kerja justru jauh dari itu bahkan berpotensi melanggar hak-hak warga masyarakat yang dijamin oleh konstitusi.

“Untuk itu, civitas akademika FH UII meminta dan menuntut kepada Pemerintah dan DPR untuk tidak melanjutkan pembahasan RUU Cipta Kerja,” katanya.

Sivitas akademika FH UII memandang penting bagi Pemerintah dan DPR untuk menyempurnakan beberapa undang-undang sektoral, daripada menyusun undang-undang dengan menggunakan metode omnibus law yang belum terbukti keberhasilannya di negara lain dan sangat potensial merusak sistem perundang-undangan di Indonesia.

“Kami tetap konsisten mengawal proses pembahasan RUU Cipta Kerja ini. Pun, jika RUU ini disahkan, sivitas akademika FH UII akan menempuh jalan konstitusional untuk menuntut pembatalannya,” katanya.

SN 09/Editor