Mogok kerja adalah hak bagi pekerja apabila berbagai langkah negosiasi mengalami kebuntuan, tetapi apakah kemudian langkah itu berujung pada proses hukum apabila perusahaan merasa dirugikan?

(SPN News) Cimareme, seperti yang telah diberitakan sebelumnya bahwa ratusan karyawan dari PT Ultrajaya Milk Industry Tbk melakukan aksi mogok kerja dengan unjukrasa di Jalan Raya Gadobangkong Kabupaten Bandung Barat, Rabu (12/9). Ketua Serikat Pekerja PT Ultrajaya, Kiki Permana Saputra mengungkapkan, aksi mogok kerja tersebut sebagai bentuk reaksi dari buruh terhadap kebijakan perusahaan. Ada enam poin tuntutan yang mereka sampaikan seperti minta dikembalikan kebijakan uang pesangon pensiun seperti yang sudah disepakati, penetapan batas usia maksimum pensiun sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45/2015 dan memasukan batas usia pensiun pada Perjanjian Kerja Bersama (PKB). “Seperti masa pensiun tiba-tiba dihapus oleh manajemen perusahaan. Yang kita pertanyakan kebijakan normatif itu seperti apa? Karena sesuai dengan PP itu, usia pensiun itu 56 tahun, dan aturan pemerintah harus diikuti oleh setiap perusahaan,” ungkapnya.

Baca juga:  KABUPATEN INDRAGIRI HULU MEMBIRU SPN

Selain persoalan pensiun, tuntuan lainnya disampaikan tentang temu akrab karyawan yang melibatkan keluarga seperti setiap tahun digelar, jangan ada outsourching di corebussines, serta jangan ada peraturan perusahaan di atas PKB sesuai amanat UU Ketenagakerjaan No 13 Tahun 2003.

Sementara jawaban dari PT Ultrajaya yang diwakili tim pengacaranya menjelaskan tentang konflik tersebut. Tim kuasa yang diketuai Jogi Nainggolan menyebutkan secara rinci tenta kronologis konflik antara manajemen perusahaan dengan karyawannya tersebut. Menurut Jogi, konflik tersebut sebenarnya telah dibahas juga secara tri partit yakni antara buruh, perusahaan dengan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Bandung Barat. Sebelumnya juga sudah dijelaskan pada serikat pekerja namun tidak menemui titik temu. Perusahaan lanjutnya telah menjalankan ketentuan tersebut berpatok pada regulasi.

Dijelaskannya perusahaan membagi tiga kategori masa pensiun tersebut pada tahun 2004 yakni pada tingkat manajerial berusia 45-60 tahun, staf 45-55 tahun dan tenaga pelaksana 45-50 tahun. “Dan ini sudah berlangsung selama 14 tahun, tidak ada konflik. Dan karena sudah ada regulasinya, ya mau tak mau ini harus dijalankan. Kalau tidak, bisa-bisa perusahaan dianggap tidak konsisten,” ucapnya. Mengingat tidak ada titik temu antara perusahaan dengan serikat pekerja, maka sesuai dengan surat dari Disnaker KBB agar persoalan ini dibawa ke ranah hukum peradilan hubungan industrial. Dan langkah tersebut diambil perusahaan sebagai jalan terbaik bagi kedua pihak.
“Konflik itu akan diselesaikan di peradilan hubungan industrial. Kita sudah melakukan gugatan di peradilan itu. Jadi nggak bisa didiskusikan lagi. Itupun sudah kami pertimbangkan secara matang,” terangnya.

Baca juga:  PEMERINTAH SERAHKAN REVISI RUU CIPTA KERJA KLASTER KETENAGAKERJAAN

Jogi menambahkan “jika masih saja ada aksi mogok kerja setelah itu, maka pihak perusahaan akan menempuh jalur hukum secara perdata. “Intinya kami akan minta ganti rugi kepada koordinator aksi karena perusahaan mendapatkan kerugian dari mogok kerja ini,” tandasnya.

Shanto dikutip dari berbagai sumber/Editor