Sesuai PP No 78/2015 tentang pengupahan bahwa kenaikan upah pasti akan terjadi minimal berdasarkan kepada angka inflasi dan pertumbuhan ekonomi

(SPN News) Jakarta, sudah menjadi hal yang rutin setiap tahunnya bahwa upah minimum baik itu provinsi maupun kabupaten/kota akan mengalami kenaikan. Begitupun menjelang 2019 ini, pembahasan kenaikan UMP sudah dilakukan. Dewan Pengupahan Nasional menilai besaran kenaikan upah untuk tahun depan idealnya mencapai 8%—9%.

Anggota Dewan Pengupahan DKI Jakarta dari pengusaha Sarman Simanjorang menuturkan, penentuan UMP akan tetap mengacu pada Peraturan Pemerintah No 78/2015 tentang Pengupahan. Dalam aturan itu, kenaikan upah dihitung berdasarkan UMP tahun berjalan dikalikan dengan pertumbuhan ekonomi dan inflasi nasional.

“Permintaan buruh terhadap kenaikan upah sebesar 8%—9% pada 2019 ini tentu sudah mendekati angka jumlah pertumbuhan ekonomi dan inflasi nasional,” ungkapnya (12/9/2018).

“Kami sedang persiapan sidang penetapan UMP untuk DKI Jakarta pada awal Oktober nanti. Pengusaha saat ini terjepit karena kenaikan PPh impor, nilai tukar rupiah, dan ditambah lagi nanti kalau kenaikan upah cukup signifikan,” tutur Sarman.

Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bidang Ketenagakerjaan Harijanto mengatakan usulan kenaikan UMP tahun depan tersebut memberatkan para pengusaha.

“Secara penghitungan kalau berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi memang kenaikan UMP tahun depan itu direntang 8% hingga 9%, tapi besaran kenaikan ini akan memukul semua sektor industri di Indonesia,” ujarnya.

Mewakili dunia usaha, dia berharap besaran kenaikan upah tahun depan relevan dengan kondisi industri di Indonesia saat ini. Senada, Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia Fithra Faisal Hastiadi menilai kenaikan UMP sebesar 8%—9% itu akan membuat sektor industri di Indonesia terganggu di tengah kondisi ekonomi saat ini.

Baca juga:  LEBIH DEKAT PSP SPN PT MACRO PRIMA PANGANUTAMA KABUPATEN TANGERANG

“Kalau dalam aturan pengupahan, kenaikan upah pada tahun ini diperkirakan sebesar 8,5%. Itu hitungannya,” ucapnya.

Namun, menurutnya, permintaan kenaikan upah itu juga sangat bertolak belakang dengan produktivitas buruh. Pasalnya, produktivitas buruh di Indonesia stagnan di angka 3% dalam setahun.
“Tentu akan menyebabkan perusahaan mengalami kenaikan ongkos produksi tanpa diiringi dengan produktivitas yang memadai. Idealnya kenaikan UMP maksimal 7% saat kondisi seperti ini. Namun, rule of thumb -nya seharusnya 3%—4% dari pertumbuhan produktivitas.”

Berdasarkan data dari Asian Productivity Organization (APO), pada 2015 produktivitas per pekerja Indonesia mencapai US$24.340, kalah bila dibandingkan dengan Thailand yang senilai US$26.480, Malaysia US$55.700, dan Singapura US$127.810. Namun, apabila angka pada 2015 itu dibandingkan dengan catatan 1990, produktivitas pekerja di Indonesia mengalami pertumbuhan sebesar 3,1% per tahun. Saat ini produktivitas per pekerja Indonesia berada pada urutan ke-11 dari 20 negara anggota APO, sedangkan di tingkat Asean, produktivitas per pekerja Indonesia berada pada urutan ke-4.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPI) Said Iqbal menambahkan berdasarkan data International Labour Organization (ILO), upah rerata buruh Laos mencapai US$119 per bulan, Kamboja US$121 per bulan, Indonesia US$174 per bulan, Vietnam US$181 per bulan, Filipina US$256 per bulan, dan Thailand US$357per bulan.

Baca juga:  MELAWAN PELECEHAN DAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DI TEMPAT KERJA

“China dengan upah saat ini yang 3,5 kalinya dari Indonesia, industri di sana lebih maju karena produktivitas tenaga kerjanya tinggi. Upah rerata di Indonesia pun juga kalah dari Thailand,” ucapnya.

Said berharap penghitungan upah tahun depan juga didasarkan pada 84 item kebutuhan hidup layak (KHL) dari yang tadinya hanya 60 item. Menurutnya, penghitungan upah yang berdasarkan dengan KHL akan mendongkrak daya beli buruh yang saat ini tengah merosot sebesar 30% akibat adanya kenaikan harga barang dan kebutuhan pokok.

“Tentu, daya beli buruh yang rendah juga berdampak pada pertumbuhan ekonomi Indonesia. Harga sewa rumah kebanyakan naik dua kali lipat. Daya beli buruh ini turun 30% salah satu untuk dongkrak daya beli ini dengan kenaikan upah yang sesuai KHL,” tutur Said.

Sementara Sekretaris Umum DPP SPN yang juga Sekretaris Jendral KSPI Ramidi mengatakan “bahwa PP No 78/2015 harus dicabut dan pemerintah gak usah malu melakukan itu. Karena buat apa lagi ketentuan itu, buruh dan pengusaha sudah tidak mau pakai. Yang kedua kepada Dewan Pengupahan, khususnya Dewan Pengupahan dari unsur buruh pekerja, sebaiknya lebih fokus pada acuan item KHL atau penambahan KHL dan bagaimana pemberlakuan upah sektoral di semua sektor industri. Bukan kepada acuan inflasi dan pertumbuhan ekonomi”.

Shanto dikutip dari berbagai sumber/Editor