Ada ketentuan yang dianggap menyalahi hukum administrasi

(SPN News) Jakarta, Sebagai upaya untuk menyederhanakan proses perizinan pemerintah telah melakukan deregulasi terhadap sejumlah peraturan sektoral. Salah satu yang disasar adalah aturan penggunaan tenaga kerja asing (TKA). Beberapa kali pemerintah merevisi peraturan penggunaan TKA, yang terakhir diubah menjadi Peraturan Presiden (Perpres) No 20/2018 tentang Penggunaan TKA. Perubahan ini dilakukan untuk menyesuaikan dengan perkembangan yang terjadi.

Namun, ketentuan Perpres TKA dikritik sejumlah kalangan. Dalam diskusi yang berlangsung di Universitas Pelita Harapan Lippo Karawaci Tangerang, (9/11), kritik terhadap Perpres itu kembali mencuat. Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surabaya, Asri Wijayanti, menyoroti sedikitnya 5 ketentuan Perpres Penggunaan TKA yang perlu dibenahi agar selaras UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Pertama, mengenai integrasi aplikasi TKA online Kementerian Ketenagakerjaan ke dalam sistem pelayanan perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik (Online Single Submission/OSS). Asri melihat integrasi itu tak berjalan mulus karena sistem yang ada masih membutuhkan pengembangan dan penyempurnaan.

Teknis integrasi itu diatur dalam beberapa peraturan antara lain Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No 10/2018 tentang Tata Cara Penggunaan TKA dan Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan No 5/2018 tentang Proses Peralihan Pelayanan Perizinan Penggunaan TKA.

Kedua, Asri melihat ada persoalan dalam hal rencana penggunaan TKA (RPTKA) yang sekaligus merupakan izin mempekerjakan TKA. Menurutnya RPTKA tidak bisa disamakan dengan izin mempekerjakan TKA (IMTA) karena keduanya berbeda. RPTKA merupakan proses yang memuat sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi. Setelah menunaikan kewajiban itu barulah terbit izin atau IMTA sebagai sebuah produk.

Baca juga:  DEMI ALASAN EFISIENSI, KORBAN PHK MENGALAMI PERUBAHAN DALAM PERPRES 82/2018

“Jika RPTKA menjadi produk, maka ini melanggar hukum administrasi,” kata Ketua Perkumpulan Pengajar dan Praktisi Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (P3HKI), (9/11).

Ketiga, mengenai kewajiban pemberi kerja memfasilitasi pendidikan dan pelatihan Bahasa kepada TKA. Menurut Asri fasilitasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 26 ayat (1) huruf c Perpres ini sifatnya bukan perintah. Padahal, norma itu harusnya tegas memuat perihal perintah atau larangan. Oleh karenanya, tidak ada sanksi yang dikenakan kepada pemberi kerja yang tidak melaksanakan ketentuan ini.

Perempuan yang juga menjabat sebagai Ketua Pusat Studi Ketenagakerjaan Universitas Muhammadiyah Surabaya itu mengingat dalam peraturan sebelumnya yakni Permenakertrans No 12/2013 ada kewajiban bagi TKA untuk mampu berkomunikasi dalam bahasa Indonesia. Ketentuan itu tegas mengatur kewajiban bagi TKA.

Keempat, mengenai TKA yang masuk ke Indonesia melalui mekanisme investasi asing. Asri mencatat pemerintah Indonesia dan China telah menjalin kerjasama dalam rangka investasi. Berbeda dengan investasi dari negara lain, investasi China ke Indonesia bukan sekedar mendanai proyek tapi juga memboyong tenaga kerja yang berketerampilan tinggi sampai rendah. Padahal, TKA yang masuk ke Indonesia harusnya yang memiliki keterampilan tinggi dan tidak bisa digantikan oleh pekerja lokal.

Asri mengusulkan kepada pemerintah untuk mengatur lebih detail dan jelas ketentuan mengenai TKA yang masuk melalui mekanisme investasi asing. Hal itu penting dilakukan karena pada prinsipnya peraturan yang ada di Indonesia terkait ketenagakerjaan melarang penggunaan TKA kecuali yang mendapat izin. UU Ketenagakerjaan mengatur penggunaan TKA mulai dari pasal 42-49, peraturan turunannya diperintahkan untuk diatur melalui Peraturan Menteri, bukan Perpres.

Baca juga:  KRITERIA MISKIN SUKAR DITENTUKAN

“Ini perlu pengaturan lebih lanjut karena penggunaan TKA sudah diatur lewat UU Ketenagakerjaan tapi ada perjanjian G to G yang berpotensi menimbulkan penyimpangan,” papar Asri.

Kelima, lemahnya penegakan hukum dan sanksi bagi penggunaan TKA yang menyalahi aturan. Asri melihat masih ada pelanggaran yang terjadi dalam penggunaan TKA, namun penegakan hukum dan sanksi yang diberikan selama ini tergolong lemah. Salah satu penyebabnya yakni kurangnya koordinasi antar kementerian dan lembaga yang bertugas melakukan pengawasan terhadap TKA. Kementerian Ketenagakerjaan tidak bisa bertindak sendiri dalam mengawasi penggunaan TKA, butuh peran lembaga lain seperti Imigrasi dan Polri.

Koordinator Peneliti Puslitbang Kementerian Ketenagakerjaan, Zanterman Rajagukguk, mengusulkan agar tenaga kerja lokal yang mendampingi TKA dalam rangka alih pengetahuan harus mendapat pelatihan dan pendidikan yang sesuai dengan bidang yang diampu TKA tersebut. Harapannya ke depan pemberi kerja tidak perlu lagi merekrut TKA karena tenaga kerja lokal pendamping itu sudah memiliki kemampuan untuk mengampu jabatan yang sebelumnya diduduki TKA yang bersangkutan.

Tanpa pendidikan dan pelatihan itu, Zanterman melihat mekanisme pendampingan itu tidak efektif dalam rangka alih pengetahuan karena pekerja lokal hanya menjadi pesuruh TKA. “Pola yang lebih baik untuk digunakan dalam rangka pendampingan tenaga kerja lokal untuk TKA yakni melalui pendidikan dan pelatihan. Tenaga kerja lokal yang sudah menjalani ini bisa diproyeksikan untuk menggantikan TKA,” urainya.

Shanto dikutip dari hukumonline.com/Editor