Ekseskusi mati yang diterima oleh buruh migran Indonesia Tuti Tursilawati merupakan korban ke 5 eksekusi mati di Arab Saudi, oleh karena itu pemerintah harus turut serta secara aktif menyelesaikan sengketa ketenagakerjaan yang menimpa buruh migran

(SPN News) Jakarta, Indonesia-Arab Saudi perlu menjalin MoU yang memuat ketentuan teknis dalam perlindungan pekerja migran Indonesia, misalnya sidak langsung ke rumah majikan. Eksekusi hukuman mati yang dijatuhkan pemerintah Arab Saudi kepada pekerja migran Indonesia asal Cikeusik, Majalengka, Jawa Barat, Tuti Tursilawati, menuai kecaman banyak kalangan mulai dari pejabat publik sampai masyarakat sipil. Kelompok masyarakat sipil yang tergabung dalam Jaringan Buruh Migran (JBM) mencatat Tuti sebagai pekerja migran Indonesia yang menjadi korban eksekusi hukuman mati ke-5 di Arab Saudi dalam kurun waktu 10 tahun terakhir.

Melansir data Kementerian Luar Negeri per Maret 2018 JBM menyebut ada 188 WNI yang terancam hukuman mati di seluruh dunia. Jumlah paling besar ada di Malaysia 148 WNI, Arab Saudi 20 WNI, dan China 11 WNI. JBM memantau kasus Tuti bermula sejak Mei 2010, dia dituduh melakukan pembunuhan berencana dan tahun 2011 divonis hukuman mati. Selama 8 tahun organisasi masyarakat sipil seperti SBMI dan Migrant Institute, termasuk Kementerian Luar Negeri dan Perwakilan RI di Arab Saudi telah melakukan pendampingan sekaligus pembelaan hukum.

Sayangnya pembelaan hukum yang dilakukan itu tidak berbuah hasil seperti harapan, Tuti dieksekusi mati Senin (29/10). Ironisnya, eksekusi itu tidak didahului oleh pemberitahuan resmi dari pemerintah Arab Saudi kepada perwakilan RI. Informasi yang diperoleh dari Kementerian Luar Negeri menjelaskan kasus Tuti masih dalam proses Peninjauan Kembali tahap kedua.

Menurut JBM tindakan pemerintah Arab Saudi itu sering terjadi ketika mengeksekusi pekerja migran Indonesia. Padahal tindakan itu melanggar Konvensi Wina 1963 yang mengatur kewajiban adanya notifikasi resmi secara tertulis. Dalam hal ini JBM melihat pemerintah Arab Saudi telah meratifikasi konvensi tersebut.

Baca juga:  RAPERDA MEMPEKERJAKAN PENYANDANG DISABILITAS DI KOTA TANGERANG

Sekretaris Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), Boby Alwi, mengatakan 12 Oktober 2018 pemerintah telah menandatangani nota kesepahaman (MoU) dengan Arab Saudi tentang Sistem Penempatan Satu Kanal (One Channel). Penempatan itu dilakukan untuk buruh migran dengan berbagai profesi seperti babysitter family cook, elderly caretaker, family driver, child careworker, housekeeper, dengan pilot project 30.000 pekerja yang diberangkatkan.

Boby berpendapat MoU ini dibuat tanpa melalui diskusi dengan buruh migran dan organisasi masyarakat sipil. Menurutnya MoU itu harus mengatur sampai teknis perlindungan terhadap buruh migran. Misalnya, ketika terjadi sengketa ketenagakerjaan antara buruh migran dan penggunanya, aparat berwenang bisa langsung melakukan intervensi. Tanpa intervensi itu Boby yakin perkara serupa yang dialami Tuti akan terjadi lagi.

“Jika pemerintah tidak bisa melakukan intervensi ke dalam sengketa hubungan kerja, maka buruh migran dipastikan tidak mendapat perlindungan,” kata Boby dalam keterangan pers, (3/11).

JBM melihat pekerja migran Indonesia yang bekerja di Arab Saudi rawan mengalami pelanggaran HAM. Berbagai kasus yang sering dialami pekerja migran Indonesia di Arab Saudi seperti penganiayaan, upah tidak dibayar, pelecehan dan kekerasan seksual, serta kriminalisasi. Kondisi ini diperparah dengan adanya sistem khafallah yang menganggap pekerja sebagai property/barang milik majikan.

UU No 18/2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia mengatur 3 syarat yang harus ada di negara tujuan buruh migran. Pertama, mempunyai peraturan perundang-undangan yang melindungi tenaga kerja asing. Kedua, telah memiliki perjanjian tertulis antara pemerintah negara tujuan penempatan dan Pemerintah Republik Indonesia. Ketiga, memiliki sistem Jaminan Sosial dan/atau asuransi yang melindungi pekerja asing.

Advokat publik LBH Jakarta, Oky Wiratama Siagian, mengatakan sistem khafallah di Arab Saudi perlu direformasi sehingga pekerja migran tidak lagi diposisikan sebagai budak perempuan (Haddamah/Ammat). Selaras itu pemerintah Arab Saudi harus mematuhi hukum internasional, salah satunya Konvensi Wina 1963.

Kepala Divisi Perlindungan Perempuan Buruh Migran dan Anggota Keluarganya Solidaritas Perempuan, Risca Dwi Ambarsari, mengatakan dari pendampingan dan advokasi yang dilakukan organisasinya dapat disimpulkan perempuan yang bekerja di Arab Saudi sebagai pekerja migran sektor domestik merupakan korban perdagangan orang. Mayoritas pekerja migran perempuan itu mengalami beban kerja berlebih, jam kerja panjang, upah tidak dibayar, kekerasan fisik, psikis dan seksual serta kriminalisasi.

Baca juga:  RESPON PEMERINTAH ATAS PUTUSAN MK TENTANG UU CIPTA KERJA

Menurut Risca salah satu penyebabnya yakni masih berlakunya budaya dan sistem hukum yang diskriminatif dan bias gender terhadap perempuan. “Ini menjauhkan Perempuan PRT Migran dari akses terhadap keadilan atas perlindungan hak sebagaimana yang dijamin dalam Konvensi Migran 1990,” ujarnya.

Risca menegaskan pemerintah berperan penting dalam melindungi pekerja migran di luar negeri sebagaimana amanat UU No 18/2017. Beleid yang disahkan Presiden Joko Widodo 22/11/2017 itu memperkuat peran atase ketenagakerjaan dalam rangka mempercepat pelayanan dan pengawasan kasus ketenagakerjaan yang dialami buruh migran.

Seknas JBM, Savitri Wisnuwardani, mendesak pemerintah untuk mempercepat terbitnya peraturan teknis UU No 18/2017. Beberapa peraturan turunan yang penting dalam rangka melindungi buruh migran yakni pelatihan vokasi, kompensasi, rehabilitasi, dan pemulihan psikologis.

Selaras itu JBM mendorong pemerintah untuk melakukan 6 tindakan. Pertama, mengkaji ulang rencana uji coba penempatan 30 ribu pekerja migran Indonesia ke Arab Saudi melalui sistem satu kanal (one channel). Kedua, melakukan upaya pembelaan hukum yang lebih maksimal bagi pekerja migran Indonesia yang terancam hukuman mati di berbagai negara. Ketiga, mencabut kebijakan hukuman mati di Indonesia karena melanggar HAM, terutama hak hidup.

Keempat, melaporkan ke PBB tentang pelanggaran Konvensi Wina Tahun 1963 dan tidak adanya perubahan sistem hukum (khafallah) yang bisa melindungi pekerja migran. Kelima, menyediakan pemulihan psikologis bagi keluarga pekerja migran Indonesia korban eksekusi mati. Keenam, mempercepat teritnya peraturan turunan UU No 18/2017 untuk mewujudkan perlindungan bagi pekerja migran Indonesia dan keluarganya sebelum 22/11/2019.

Shanto dikutip dari hukumonline.com/Editor