Foto Istimewa

(SPNEWS) Jakarta, Sebanyak 30 orang dari aliansi pekerja rumah tangga (PRT) berkumpul dan menggelar aksi mogok makan atau berpuasa di depan gedung DPR/MPR RI, Jakarta, (14/8/2023).

Aksi tersebut bertujuan menuntut dan menekan pihak DPR sebagai lembaga pembentuk Undang-undang untuk sesegera mungkin mengesahkan RUU PPRT menjadi Undang-undang.

Aksi tersebut dipilih sebagai simbol atas keprihatinan dan solidaritas kepada para PRT, yang mereka sebut sebagai ‘korban penyanderaan dalam kelaparan tak terlihat’.

“Saat ini kan memang RUU PPRT itu masih mandek setelah menjadi RUU prioritas DPR RI, [sampai saat ini] belum kunjung menjadi pembahasan oleh DPR RI. Saat ini kami menuntut untuk spesifik agar RUU PPRT ini segera dibahas pada masa reses nanti,” ucap Jihan, salah satu anggota Organisasi Perempuan Mahardika saat ditemui di lokasi aksi.

Jihan mengatakan terhitung mulai hari ini, sebanyak 30 orang bakal melakukan aksi mogok makan setiap hari dari pukul 10.00-17.00 WIB di depan gedung DPR/MPR RI.

Para peserta mogok makan itu merupakan bagian dari aliansi PRT, termasuk Jaringan Advokasi Nasional untuk Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT), Perempuan Mahardhika, dan Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia (FSBPI).

Jihan juga menyebut bahwa aksi mogok makan ini menyimbolkan kondisi kelaparan yang dialami para PRT.

“[Selama] 19 tahun sudah banyak sekali ribuan dan ratusan korban PRT yang upahnya tidak dibayar, tidak dapat jaminan dan dikurung, mendapat kekerasan, menjadi korban perbudakan oleh majikannya,” lanjut dia.

Baca juga:  PKB dan SERIKAT BURUH

“Dan itu kita lihat ada andil negara di dalam situ, yang 19 tahun dengan situasi seperti itu tapi abai dan tidak mau membahas dan mengesahkan RUU PPRT,” imbuh Jihan lebih lanjut.

Di bawah tenda di mana mereka duduk sambil melakukan aksi mogok makan, terlihat sejumlah piring berisikan alat-alat rumah tangga seperti sponge cuci piring, dot bayi, sikat, hingga rantai.

Menurut Jihan, alat-alat ini menyimbolkan seluruh pekerjaan rumah tangga yang selalu dibebankan kepada PRT.

“Ada juga jam, menyimbolkan jam kerja yang artinya enggak menentu. Enggak ada batasan jam kerja untuk PRT. Bahkan mereka kerja bisa 24 jam mengasuh anak, mengasuh hewan juga ada, terus juga harus selalu ada untuk majikan. Tapi yang mereka dapat itu enggak pernah sesuai dengan apa yang mereka berikan kepada majikan,” tegasnya.

Jihan menekankan bahwa dengan aksi mogok makan ini, ia berharap negara segera memberikan jaminan dan kepastian kerja kepada para PRT.

“Karena dengan mengakui PRT sebagai pekerja, artinya ada hak-hak PRT sebagai pekerja yang melekat, jam kerja yang teratur, juga ada standar upah, terus dilindungi oleh negara ketika terjadi kekerasan,” ucapnya.

“Kalau negara mengakui PRT sebagai pekerja, artinya dia menghargai kerja-kerja perempuan karena saat ini mayoritas PRT kebanyakan perempuan,” lanjutnya.

Baca juga:  ATURAN LENGKAP MUDIK LEBARAN

“Pekerjaan-pekerjaan domestik yang selama ini kita tahu oleh masyarakat maupun negara itu dinilai enggak memberikan keuntungan, tapi kita bisa lihat orang-orang DPR, pengusaha, para pemodal, itu bisa bekerja, bisa menghasilkan keuntungan karena ada kerja-kerja domestik yang dipastikan itu selalu ada setiap harinya dan itu dilakukan oleh teman-teman PRT,” pungkas Jihan.

RUU PPRT pertama kali didorong untuk dibahas sejak 2004, tetapi hingga hari ini tidak kunjung jelas pembahasan dan pengesahannya.

Sejak 2004, RUU PPRT bolak-balik ke luar-masuk dari daftar Prolegnas DPR RI. Selama 19 tahun para PRT menunggu payung hukum yang melindungi mereka dari segala bentuk kekerasan, penyiksaan, dan perbudakan modern yang terjadi saat ini.

JALA PRT mencatat 1.635 kasus multikekerasan terhadap PRT yang berakibat fatal selama 2017-2022. Selain itu, terdapat 2.021 kasus kekerasan fisik dan psikis serta 1.609 kasus kekerasan ekonomi.

PRT juga termasuk ke dalam bagian dari korban-korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Data Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) menyatakan total aduan kasus perdagangan yang ditangani SBMI sejak 2012 sampai 2020 adalah 2.597 kasus.

Dari jumlah tersebut, PRT merupakan korban perdagangan orang tertinggi yakni sebesar 58,5 persen (1.519 kasus).

 

 

SN 09/Editor