Foto Gedung MK

(SPNEWS) Jakarta, Perppu Cipta Kerja ditetapkan untuk menindaklanjuti putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Sebagai tindak lanjut putusan MK a quo, penjelasan perppu a quo menguraikan sebagai berikut, yaitu membentuk Undang-undang (UU) Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3) yang telah mengatur dan memuat metode omnibus law dalam penyusunan UU dan memperjelas partisipasi masyarakat yang bermakna dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.

Demikian keterangan yang disampaikan Aidul Fitriciada Azhari dalam kapasitasnya sebagai Ahli yang dihadirkan oleh Presiden/Pemerintah dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang kesembilan untuk perkara pengujian formiil Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU Cipta Kerja) ini digelar pada (14/8/2023).

Sebanyak empat perkara digabung pemeriksaannya dalam persidangan, yaitu yakni Perkara 40/PUU-XXI/2023, 41/PUU-XXI/2023, 46/PUU-XXI/2023 dan Perkara Nomor 50/PUU-XXI/2023. Adapun agenda sidang kesembilan ini yakni mendengarkan keterangan Ahli dan saksi Pemerintah.

Menurut Aidul, dengan UU 13/2022 tersebut maka UU dengan metode omnibus law telah memenuhi cara dan metode yang pasti, baku dan standar dalam penyusunan perundang-undangan. “Meningkatkan partisipasi yang bermakna melalui pembentukan peraturan perundang-undangan, satgas UU Cipta Kerja yang melakukan sosialisasi di berbagai wilayah yang diharapkan dapat meningkatkan pemahaman serta kesadaran masyarakat terhadap UU Nomor 11/2020,” terang Aidul di hadapan Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi delapan Hakim Konstitusi lainnya.

Selanjutnya, sambung Aidul, perbaikan terhadap kesalahan teknis penulisan atas undang-undang 11/2020 antara lain huruf yang tidak lengkap, rujukan pasal atau ayat yang tidak tepat, salah ketik dan atau judul, nomor urut dan bab bagian paragrap, pasal dan ayat atau butir yang sesuai dengan substansial juga telah dilakukan. “Semua perbaikan atas UU 11/2020 tentang Cipta Kerja tersebut dilakukan dalam menindaklanjuti putusan MK yang mengharuskan pembentuk UU untuk melakukan perbaikan tata cara sesuai dengan metode omnibus law dan keterpenuhan asas-asas pembentukan UU. Namun atas dasar penilaian Pemerintah terhadap situasi ekonomi global yang muncul setelah putusan MK Nomor 91/2020, Pemerintah mengambil putusan untuk menuangkan semua perbaikan yang disyaratkan oleh MK tersebut dalam bentuk penetapan Perppu Cipta Kerja,” tegas Aidul yang juga merupakan Guruh Besar Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS).

Baca juga:  SOSIALISASI PERATURAN PEMERINTAH NO. 82 TAHUN 2019 BP JAMSOSTEK PROVINSI DKI JAKARTA

Menurut Aidul, penetapan Perppu Cipta Kerja tidak bertentangan dengan putusan MK Nomor 91/2020 dengan beberapa pertimbangan. Secara konstitusional kewenangan Presiden dalam perppu berdasarkan Pasal 22 UUD 1945 tidak pernah dicabut atau diubah sehingga Presiden tetap memiliki hak konstitusional untuk menetapkan perppu.

“Putusan MK tidak melarang secara tegas perbaikan UU Cipta Kerja untuk dituangkan dalam penetapan perppu yang merupakan kewenangan Presiden yang diatribusikan oleh UUD 1945. Pertimbangan presiden atas kegentingan memaksa tidak masuk ke dalam pertimbangan putusan Nomor 91/2020 karena perubahan perekonomian global terjadi setelah putusan MK dibacakan. Putusan MK ditindaklanjuti oleh pembentuk UU harus pula dihadapkan pada perubahan situasi perekonomian global yang dalam penilaian Presiden merupakan kegentingan yang memaksa yang harus ditindaklanjuti dengan tidak prosedur biasa melainkan dengan menetapkan Perppu Cipta Kerja,” tegas Aidul.

Baca juga:  ADA TUJUH PASAL BERMASALAH DALAM RUU CIPTA KERJA MENURUT AMNESTY INTERNATIONAL INDONESIA

Aidul juga menerangkan, penetapan perppu itu pun tetap memuat perintah putusan MK yakni dengan melakukan beberapa perbaikan yang diperintahkan MK sekalipun disesuaikan dengan prosedur pembentukan perppu yang berbeda dengan pembentukan undang-undang biasa.

Pada persidangan kali ini, Pemerintah juga menghadirkan Mohamad Iksan sebagai ahli. Iksan menyebut pembuatan UU Cipta Kerja dengan cara omnibus law ini merupakan terobosan penting untuk mengatasi kompleksitas dari sejumlah undang-undang baik yang baru maupun yang lama dari suatu benang merah yang utuh dari suatu reformasi yang struktural.

Menurutnya, UU Cipta Kerja itu dapat memberikan game changer untuk membalikkan tren di industrisasi di Indonesia yang gejalanya terjadi sejak awal tahun 2000an. Kalau kita lihat sebelum tahun 2000 posisi Indonesia di pasar global di beberapa produk tertentu itu cukup dominan. Tetapi setelah UU Nomor 13 tahun 2022 diberlakukan, iklim investasi kita menjadi tidak kondusif dan peran kita di pasar global secara perlahan-lahan diambil alih oleh negara lain.

Pada kesempatan yang sama, MK juga mendengarkan keterangan saksi Pemerintah yakni Tadjudin Noer dan Nurhayati. Tadjudin Noer mengatakan bahwa ia hadir dalam focus group discussion (FGD) sebanyak enam kali dan terlibat di dalam penyampaian materi yang berkaitan dengan pembangunan demografi, transformasi teknologi, dan lain sebagainya.

Menurut Tadjudin, UU Cipta Kerja adalah UU yang akan dapat membantu dalam penyediaan lapangan kerja yang selama ini belum dapat berkembang dengan baik termasuk pasar kerja belum berkembang.

SN 09/Editor