Ilustrasi

Pemerintah Provinsi Jawa Barat tengah mengkaji sejumlah alternatif penentuan upah minimum provinsi (UMP) 2021. 

(SPNEWS) Bandung, Pemerintah Provinsi Jawa Barat tengah mengkaji sejumlah alternatif penentuan upah minimum provinsi (UMP) 2021. Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jawa Barat, Rachmat Taufik Garsadi mengatakan tengah mengkaji beberapa alternatif penetapan UMP, sehubungan dengan acuan penentuan UMP yang belum ditetapkan. Misalnya, katanya, yang berkaitan dengan Komponen Hidup Layak (KHL) yang berperan dalam penentuan UMP.

Kini, katanya, sudah terbit Peraturan Menaker Nomor 18 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No 21 Tahun 2016 tentang Kebutuhan Hidup Layak yang merupakan peraturan baru.

“Kemudian perhitungan KLH per provinsi, per kabupaten dan kota, itu dihitung dari data yang diserahkan oleh BPS, dan saat ini belum ada. Padahal di Permenaker Nomor 18 Tahun 2020 itu, satu bulan sebelum jatuh tempo UMP, harus sudah ditetapkan KHL-nya itu. Nah itu yang pertama, kalau mengacu ke peraturan yang baru,” katanya, (20/10/2020).

Kemudian jika mengacu pada Peraturan Menaker Tahun 78/2015 tentang Pengupahan, UMP terbaru ditetapkan berdasarkan hasil penambahan antara UMP tahun sebelumnya ditambah angka inflasi dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atau pertumbuhan ekonomi.

Baca juga:  DPR RI MINTA KETEGASAN ATURAN PEMBAYARAN THR

“Kalau lihat sekarang di Jabar, inflasinya minus atau deflasi, kemudian pertumbuhan ekonominya juga minus lumayan besar ya. Otomatis kalau perhitungan menggunakan permenaker yang lama, maka UMP akan turun,” katanya.

Mengenai poin-poin KHL yang ditetapkan Kementerian Tenaga Kerja, katanya, ditetapkan oleh BPS. Namun belum ditetapkan, padahal harus dihitung menggunakan data rata-rata harga per jenis kebutuhan.

“Dari BPS belum ada, kan masih dihitung. Padahal sebulan sebelum jatuh tempo, ini harus sudah ditetapkan. Dan kita tahu kondisi harga sekarang kan dampak Covid-19, tidak jelas. Tapi November UMP harus disahkan. Mudah-mudahan, seminggu ini selesai, musyawarah cari yang terbaik. Usaha tetap jalan, pekerja buruh tetap dapat gaji yang layak untuk bisa berjalan di tengah deraan Covid-19,” katanya

Dia menilai skema penurunan UMP tentu tidak diharapkan oleh serikat buruh. Karenanya, pihaknya akan terus melakukan konsolidasi terbaik supaya bisa ditempuh kesepakatan terbaik dari berbagai pihak terkait.

Baca juga:  KADIN DKI SEBUT PENGUSAHA JAKARTA BISA NAIKAN UMP 0,85 PERSEN

“Nah penurunan ini kan pasti tidak mau para pekerja dan serikat. Ini yang harus kita konsolidasikan di Dewan Pengupahan yang terdiri dari unsur serikat pekerja dan pengusaha. Kita cari win-win solution yang terbaik. Kemudian di konsolidasi ini, saya akan minta dinarasumberi dari Kemenaker minimal eselon dua, setingkat direktur hadir, untuk bisa jelaskan kepada kita semua,” katanya.

Pembahasan UMP di dewan pengupahan tingkat pusat, katanya, diserahkan kepada tingkat provinsi. Pengupahan ini akan menentukan, apakah akan mengacu pada peraturan lama atau mencari solusi lewat musyawarah.

”Kita cari win-win solution, bagaimana dari pihak pengusaha dan serikat, kan negara kita negara musyawarah,” ujarnya.

Keinginan serikat pekerja agar UMP naik minimal 8 persen seperti tahun sebelumnya dinilai Rachmat akan direspon berbeda-beda oleh pengusaha. Mereka yang sanggup akan menyepakati, sementara pengusaha yang keberatan diprediksi memilih menutup usaha.

“Hal ini akan berdampak pada penambahan angka pengangguran yang sudah tinggi, tambah tinggi lagi,” tuturnya.

SN 09/Editor