Ilustrasi
Kerugian yang belum direalisasikan atau Unrealized Loss baru dicatat di laporan keuangan sesungguhnya bukanlah suatu hal yang bisa masuk ke ranah pidana.
(SPNEWS) Jakarta, Kerugian yang belum direalisasikan atau Unrealized loss baru dicatat di laporan keuangan sesungguhnya bukan lah suatu hal yang bisa masuk ke ranah pidana.
Chairman Infobank Institute, Eko B Supriyanto menegaskan, sangat disayangkan jika unrealized loss dalam kasus Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan menjadi pintu masuk bagi Kejaksaan Agung RI untuk menyamakan dengan kasus Jiwasraya dan Asabri.
“Sesungguhnya, unrealized loss BPJS-TK ini berbeda dan murni karena pasar saham sedang terjun bebas. Itulah kenapa unrealized loss angkanya berbeda-beda dari waktu ke waktu,” katanya (19/2/2021).
Dia kembali menegaskan, jika potensi kerugian atau kerugian yang belum dibukukan masuk ranah merugikan negara, maka pasal ini akan menakutkan bagi semua pihak yang mengurus investasi. Padahal, jika rugi akibat risiko bisnis, tentu tidak masuk ranah pidana.
“Untung dan rugi biasa dalam bisnis. Saham naik, dan saham turun juga hal yang jamak di pasar modal,” katanya lagi.
Sekilas kasus Jiwasraya, Asabri, dan BPJS-TK memang sama yaitu unrealized loss saham dan reksa dana. Namun, jika diperhatikan lebih dalam, seperti melihat portofolio saham dan koleksi reksa dananya, jelas tampak berbeda.
“Soal tata kelola yang lebih baik, dari sisi prosedur pemilihan saham dan manajer investasi (MI) juga berbeda,” tegasnya.
Unrealized loss BPJS-TK tidak ada artinya jika melihat hasil investasi bruto BPJS-TK dari saham dan reksa dana. Menurut dia, ada unrealized loss, itu benar tergantung pasar saham ke mana bergeraknya, naik atau turun.
“Berdasarkan data, hasil investasi bruto selama lima tahun terakhir 2016-2020 sebesar Rp137,2 triliun dan Rp33 triliun (reksa dana dan saham),” katanya.
Jadi, lanjutnya, unrealized loss BPJS-TK bukanlah tindakan pidana. Beda dengan kasus Jiwasraya dan Asabri. Catatannya, unrealized loss BPJS-TK sebesar Rp 14,417 triliun, bukan Rp43 triliun dan bukan pula Rp22 triliun dalam hal ini benar-benar akibat harga saham yang turun.
“Lebih dari itu, unrealized loss ini angkanya berubah-ubah sesuai dengan harga saham. Masyarakat juga harus paham, bahwa selama ini BPJS-TK merupakan market leader di pasar modal. Tanpa BPJS-TK di pasar modal Indonesia, tentu pasar tidak bergairah, tidak ada pendalaman pasar,” pungkasnya.
SN 09/Editor