(SPN News) Pasal 156 ayat (1) UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima. Perhitungan pesangon lebih lanjut diatur dalam UU No 13 Tahun 2003 Pasal 156 ayat (2).

Dalam ranah praktik memang kerap ditemui pembayaran pesangon dengan cara dicicil. Karena memang dalam peraturan perundang-undangan yang ada tidak diatur secara spesifik dan rinci mengenai bagaimana cara pembayaran pesangon atau kapan persisnya pesangon harus dibayarkan. Menyikapi hal tersebut, dalam hal pekerja diputus hubungan kerjanya, hal-hal mengenai pembayaran pesangon yang merupakan kewajiban pengusaha dapat dirundingkan di antara kedua belah pihak, yakni pengusaha dan pekerja. Pengusaha dan pekerja dapat membuat kesepakatan mengenai bagaimana dan kapan pesangon harus dibayarkan. Dalam hal ini, termasuk disepakati apakah pembayarannya akan dicicil atau langsung dibayar tunai.

Baca juga:  SEMINAR TENTANG KETENAGAKERJAAN DPC SPN KABUPATEN MOROWALI

Apabila pihak pekerja tidak menyetujui pembayaran pesangon dengan cara dicicil, hal ini bisa menjadi perselisihan pemutusan hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja. Dan untuk proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial diselesaikan dengan cara-cara sebagaimana diatur dalam UU No 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yakni:

1. Mengadakan perundingan bipartit (antara pekerja dan pengusaha) secara musyawarah untuk mencapai mufakat.

2. Apabila dalam waktu 30 hari setelah perundingan dimulai tidak tercapai kesepakatan, upaya selanjutnya adalah perundingan tripartit, yaitu dengan melibatkan Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi setempat. Pada tahap ini, Anda perlu mengajukan bukti-bukti bahwa perundingan bipartit telah dilaksanakan, namun gagal mencapai kesepakatan.

3. Apabila perundingan tripartit tetap tidak menghasilkan kesepakatan, maka salah satu pihak dapat mengajukan perselisihan ini kepada Pengadilan Hubungan Industrial.

Salah satu contoh kasus terkait hal ini adalah PT Hikmat Makna Aksara (HMA) perusahaan penerbit Majalah Bisnis dan Ekonomi Trust, ketika memutus hubungan kerja Bambang Bujono dkk. Jumlah kewajiban yang harus dibayarkan oleh Trust dirasa cukup berat, tapi dari sisi karyawan sendiri ingin Trustmembayar secara tunai tanpa cicilan. Dalam kasus tersebut kemudian Mahkamah Agung memutuskan bahwa perusahaan harus membayarkan kewajibannya secara tunai, tanpa dicicil.

Baca juga:  MENAKER BANTAH PERMEN No. 2/2021 BUKAN MEMANGKAS UPAH TAPI PENYESUAIAN UPAH

Jadi, hingga saat ini tidak ada ketentuan peraturan perundang-undangan yang secara tegas membolehkan atau melarang pembayaran pesangon dengan dicicil. Pada dasarnya, pembayaran pesangon disesuaikan dengan kesepakatan antara pengusaha dan pekerja, apakah disepakati untuk dicicil atau tidak. Dan tentu saja sesuai dengan “KEBIASAAN” yang terjadi di Indonesia bahwa umumnya pembayaran uang pesangon pekerja pabrik atau swasta umumnya adalah secara tunai dan umumnya uang pesangon sering dipakai sebagai modal seorang pekerja untuk melakukan suatu usaha untuk menyambung hidup setelah di PHK/pensiun, maka ini harus  menjadi bahan pertimbangan dalam perundingan agar pembayaran uang pesangon tersebut dalam dilakukan secara tunai.

Shanto dikutip dari berbagai sumber/Coed