Tanggal 23 Oktober 2017 adalah batas akhir bagi seluruh perusahaan yang ada di Indonesia untuk menerapkan struktur dan skala upah, sesuai dengan Permenaker No 1/2017. Menurut  Permenaker ini yang merupakan penjabaran dari PP No 78/2015 tentang Pengupahan mengatakan bahwa struktur dan skala upah akan memberikan keadilan bagi pekerja/buruh. Karena upah diberikan kepada pekerja sesuai dengan nilai pekerjaannya, seperti diperhitungkan dengan tingkatan pendidikan, pengalaman kerja, resiko kerja, lingkungan kerja dll yang akan menentukan bobot pekerjaan dan upahnya.

Sedangkan bagi perusahaan dengan penerapan struktur dan skala upah akan menjadikan setiap perusahaan memiliki daya saing karena dalam memberikan upah pada pekerjanya menjadi lebih terukur.
Secara tertulis dikatakan bahwa pelanggaran atas ketentuan ini telah diatur.  Apabila perusahaan memberikan upah di bawah upah minimum, sanksinya adalah pidana. Sedangkan untuk mereka yang telah bekerja diatas satu tahun dan perusahaan tidak menerapkan peraturan skala upah sanksinya berupa administratif.

Baca juga:  SUDAH UNTUNG, HARUSNYA IURAN BPJS KESEHATAN KEMBALI SEPERTI SEMULA

Tetapi muncul pertanyaan besar, apakah benar pemerintah dalam hal ini Binwasnaker akan dapat mengawasi penerapan struktur dan skala upah?. Kenyataanya jangankan struktur dan skala upah yang notabene upah diatas upah minimum, pelaksanaan upah minimum pun sering dilanggar dan pemerintah tidak berdaya dalam menyelesaikannya.

UU No 13/2003 menyatakan bahwa upah minimum hanya boleh dibayarkan pada mereka yang bekerja kurang dari satu tahun. Dengan demikian, pekerja yang sudah diatas satu tahun maka perusahaan tidak boleh lagi membayar dengan upah minimum. Perusahaan harus membayar di atas upah minimum. Kenyataannya banyak sekali perusahaan yang membayar upah pekerjanya dengan upah minimum itu atau dengan kata lain upah minimum menjadi upah maximun yang diterima.

Baca juga:  PT METRO POS DIGUGAT UNTUK MEMBAYAR PESANGON RP33,7 M

kebijakan ini kedengarannya seperti angin surga, tetapi apakah benar akan dapat dilaksanakan dengan baik?. Perusahaan akan beralasan bahwa order sepi, perusahaan sedang rugi dan sejuta alasan lainnya. Tetapi ketika perusahaan mendapat untung pun pekerja tidak serta merta mendapatkan kenaikan karena umumnya perusahaan tidak pernah mengakui kalau perusahaannya mendapatkan keuntungan.  Sementara itu pekerja/buruh seringkali berada diposisi yang lemah ketika sedang berunding dengan perusahaan, apalagi bila pekerja/buruh itu tidak memiliki SP/SB. Di sisi yang lain, pemerintah pun tidak bisa berbuat banyak ketika banyak perusahaan tidak patuh untuk menjalankan aturan, sehingga tidak sedikit buruh dilanggar hak normatifnya tanpa ada perlindungan dari pemerintah.

Shanto/Editor