Ilustrasi
(SPNEWS) Serang, Menjelang penetapan Upah Minimum Kabupaten/kota atau UMK 2023 di November tahun 2022 ini, pekerja dan buruh di Banten sudah mengantisipasi dengan akan mengajukan kenaikan upah minimum sebesar 10-13 persen dari upah minimum tahun 2022 ini.
Buruh Banten meyakini bahwa pemerintah akan menetapkan upah 2023 berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) 36/2021 tentang pengupahan. Mereka juga cenderung tidak ingin mempercayai data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menjadi basis data pemerintah dalam menentukan upah minimum.
“BPS pernah mengeluarkan semacam angka kecukupan (hidup minimum di Banten) yang nilainya Rp 1 jutaan. Data macam apa itu?. Kita semua tahu, siapa yang bisa hidup dengan uang segitu?” kata Ketua DPD Serikat Pekerja Nasional (SPN) Provinsi Banten Intan Indria Dewi saat dihubungi via ponselnya, (29/10/2022).
Intan mengatakan, salah satu dasar dari besaran kenaikan upah yang diinginkan pihaknya itu adalah kenaikan harga BBM yang terjadi beberapa bulan lalu.
Hal tersebut dipastikan akan mendorong terjadinya inflasi. Sedangkan besaran upah yang akan mendorong daya konsumsi masyarakat diyakini sebagai salah satu yang dapat meredam inflasi.
Intan menambahkan, pihaknya bersama seluruh serikat pekerja dan buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat pekerja Indonesia (KSPI) akan menggalang kekuatan untuk mengegolkan tuntutan kenaikan upah minimum 2023 sebesar 10-13 persen tersebut.
“Kalau pemerintah sudah bisa dipastikan mereka akan bersandar PP 36. Tidak aka nada kenaikan yang signifikan kalau sandarannya PP 36 itu. Paling naik 2-3 persen,” paparnya.
SebelumnyaKepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Banten Septo Kalnadi meminta buruh di Banten melalui serikat pekerja yang mewakilinya pro aktif mengawal perumusan upah minimum 2023 tahun depan.
Pengawalan di maksud sebagai langkah antisipasi yang bisa dilakukan ketimbang upaya-upaya penolakan upah minimum setelah ditetapkan oleh pemerintah.
Septo mengaku sudah mengimbau serikat pekerja dalam forum dewan pengupahan Provinsi Banten yang dihadiri unsur dari dewan pengupahan tingkat kabupaten/kota, termasuk dari serikat pekerjanya.
“Kami sudah mengimbau di forum tersebut agar teman-teman buruh melalui serikat pekerjanya memiliki data pembanding hasil survey mandiri untuk dijadikan argumen terhadap data pemerintah dan pengusaha yang basisnya dari BPS (badan pusat statistik),” kata Septo, Kamis 27 Oktober 2022.
Menurut Septo, survei mandiri terkait data-data harga kebutuhan layak (HKL) akan menjadi data pembanding yang kuat dalam memperjuangkan aspirasi buruh terkait besaran upah minimum.
“Saya kira teman-teman buruh melalui SP (serikat pekerja) sangat bisa melakukan (survey mandiri) itu,” katanya.
Dengan dimilikinya data pembanding yang valid dan indipenden karena hasil survey mandiri, lanjutnya, pemerintah daerah sebagai wasit atau penengah antara SP dan pengusaha melalui Apindo (Asosiasi Pengusaha Indonesia) dapat memberikan dukungan yang objektif terhadap perjuangan buruh terkait dengan besaran upah minimum.
“Karena kan kalau pemerintah dan pengusaha mah basis datanya sama, BPS. Nah kalau buruh punya data pembanding kaitan misal kemudian upah minimum di bawah tuntutan buruh, pemda dalam hal ini kepala daerah bisa memberikan kebijakan diskresi,” paparnya.
Data hasil survei mandiri versi buruh, kata Septo, juga dapat dijadikan dasar apabila di kemudian hari ada gugatan dari para pihak yang merasa keberatan dengan kebijakan diskresi kepala daerah terkait upah minimum tersebut.
SN 09/Editor