(SPNEWS) Jakarta, Secara sistematis buruh disekat-sekat untuk menghilangkan solidaritas di antara mereka, karena sejatinya solidaritas akan melahirkan kekuatan masif yang bisa melahirkan perubahan. Penyebutan istilah buruh secara berbeda-beda menunjukkan bahwa memang secara sistematis hal ini sengaja dilakukan. Seperti buruh dikatakan pekerja, karyawan, pegawai atau tenaga kerja merupakan istilah umum yang sering kita jumpai. Sebutan buruh sering kali dipakai untuk menunjukkan pekerja luar ruangan yang banyak menggunakan tenaga fisik secara manual dan dianggap sebagai pekerja kasar dan menempati posisi terendah dari kelas pekerja. Sebutan Karyawan sering kali dipakai untuk menunjukkan pekerja dalam ruangan yang banyak menggunakan keterampilan khusus atau dengan kata lain banyak menggunakan pikiran dari pada fisik. Sedangkan istilah pegawai sering kali dipakai untuk pekerja yang bekerja pada instansi pemerintah atau birokrasi. Buruh berasal dari rakyat kebanyakan, karyawan berasal dari kelas menengah dan relatif memiliki pendidikan formal yang baik sedangkan pegawai sering kali berasal dari masyarakat kalangan atas yang memiliki hubungan kekerabatan dengan pegawai di instansi-instansi pemerintah terebut.

Baca juga:  FGD KOMITE PEREMPUAN KABUPATEN BOGOR

Pada era Presiden Soekarno yang mana pada masa itu zamannya penuh dengan pergolakan politik dan ideologi maka buruh dipandang memiliki faktor yang penting bagi kemenangan partai karena kemampuannya dalam memobilisasi massa. Sebutan buruh bagi kelas pekerja pada saat itu sudah menjadi hal yang lazim. Pada masa Presiden Soeharto istilah buruh mulai dihilangkan dan diganti dengan istilah pekerja dan karyawan karena menganggap istilah buruh cenderung ke kiri-kirian. Dan setelah reformasi dengan ditandai lahirnya UU No 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh maka istilah buruh kembali marak digunakan di negeri ini.

Terlepas dari berbagai sebutan di atas maka “buruh” sering kali harus berjuang sendirian karena pekerja yang merasa sebagai “karyawan” dan “pegawai” hampir dikatakan tidak pernah mau ikut berjuang dalam menuntut hak-hak “buruh”. Kehidupan yang relatif lebih mapan membuat “karyawan” dan “pegawai” enggan menyuarakan apa yang menjadi tuntutan para “buruh” seperti upah layak, lingkungan kerja yang baik dan isu-isu lainnya. Lingkungan kerja dan pergaulan yang berbeda membuat “karyawan” dan “pegawai” sulit memahami jalan pikiran “kaum buruh” kebanyakan. Mereka tidak memahami bahkan terkadang mencibir gerakan kaum buruh dalam menuntut hak-haknya, mereka seakan lupa dan tidak sadar bahwasanya mereka juga sebenarnya “kaum buruh” yang dibayar dan sewaktu-waktu dapat dipecat dari pekerjaannya. Mereka lupa bahwa dengan solidaritas yang kuat selain bisa membantu “kaum buruh” kebanyakan mereka juga membantu melindungi hak-hak mereka sendiri. Sudah saatnya entah itu buruh, pekerja, karyawan, pegawai, tenaga kerja, pekerja rumah tangga, penjaga toko dan lain-lain bersatu padu, bersama-sama berjuang dalam satu semangat solidaritas untuk mewujudkan kesejahteraan dan kesetaraan.

Baca juga:  BAZAAR MURAH SEMBAKO DPC SPN KABUPATEN BEKASI

Shanto dari berbagai sumber/Coed