(SPNEWS) Jakarta, Masih ingat saat dulu diterjunkan ke lapangan, saya ditugaskan untuk meliput sebuah kegiatan aksi turun ke jalan untuk menolak revisi UU No 13 tahun 2003. Saat itu berada di satu kawasan jalan protokol ibukota, menyusuri satu per satu bangunan gedung dengan gemuruh logika dan rasa yang menawarkan sensasi berbeda. Bahkan ketika hendak menulis berita tersebut, ada beberapa pertimbangan yang selalu berkelindan di kepala.

Pertama, pers atau jurnalisme selalu mengedepankan data dan fakta ketimbang opini.
Kedua, informasi baru adalah nyawa sebuah berita.
Ketiga, muatan edukasi yang sering terlupa, bahwa ia mungkin mengajarkan kebenaran atau justru sebaliknya semakin menyebarkan kesesatan.
Keempat, sensasi bombastis kadang sengaja dibuat untuk menarik pembaca.
Kelima, independensi dan keberpihakan. Kepada siapa kita akan berpihak, keadilan, kebenaran, dan idealisme pers, ataukah hanya mengejar idealisme pasar?

Pers, dewasa ini, berkembang sudah jauh melampaui kondisi ketika saya masih menjadi seorang pembaca tanpa menulis. Pasang surut dan terpaan menimpa banyak media massa cetak. Hingga sekarang dunia meniscayakan sebuah keharusan beradaptasi dengan teknologi informasi dan komunikasi. Serbuan tuntutan kesejahteraan wartawan pun bukan harus diabaikan. Bahkan akhirnya banyak yang gulung tikar. Apalagi media yang menjamur di era ‘99.

Baca juga:  ATURAN BARU PENGUPAHAN

Menyimak kondisi saat ini, banyak perbedaan mendasar dari lima hal yang saya sebut di atas. Sering pula salah satunya mendominasi. Namun yang sekarang ingin saya ungkap bahwa menulis berita itu bukanlah mencari sensasi.

Betul, pasar menanti. Benar, bahwa menjaring pembaca itu penting. Tapi tidaklah melupakan jati diri dari sebuah informasi yang disampaikan. Hari ini saya membaca judul-judul yang luar biasa mewah. Namun ketika membaca beritanya, hanya secuil dari peristiwa yang ditulis. Sebuah straight news atau berita langsung saat ini memang dipaksa beradaptasi dengan produk teknologi. Dipaksa pula menyuguhkan lintasan peristiwa yang renyah dibaca dalam satu, dua kedip mata. Sajian investigasi seperti diabaikan dalam keseharian. Menunggu seminggu, atau edisi tertentu untuk menjamu para pembacanya.

Sayangnya, dengan lintasan-lintasan peristiwa itu seperti memecah sebuah cermin. Ia yang berkeping tak sanggup menghadirkan bayangan utuh. Ujungnya, pembaca banyak yang terkesima sejenak. Menebak, dan menyimpulkan dalam opini masing-masing. Meski hanya sekeping info yang mereka terima. Hingga kehadiran media sosial menyergap segenap informasi. Berkeliaran, kadang tak tentu arah pangkal dan ujung. Cenderung bias dan hoaks.

Dewan redaksi tentu menyadari akan hal itu. Hanya saya menganggap bahwa itu adalah sebuah kefatalan jika tidak turun berita lanjutan. Apalagi sekarang banyak wartawan yang tidak terjun ke lapangan. Mereka yang sejatinya mewakili mata dan telinga pembaca, justru hanya menunggu info terbaru dari kantor-kantor berita. Tanpa mencari sumber utama kabar yang tersiar. Maka, wajar jika hampir semua media bergaya sama. Dalam liputan pun seolah seragam. Hanya mengubah judul dan memberikan sentuhan diksi dengan otak-atik kalimat. Di sinilah letak perbedaan logika pers idealis dan pers pragmatis.

Baca juga:  PENTINGNYA SDM BURUH YANG BERKUALITAS DALAM MENGHADAPI REVOLUSI INDUSTRI 4.0

Lantas apa yang harus dilakukan? Beradaptasi dengan zaman itu kewajiban. Namun perlu diingat bahwa menulis berita itu bukan mencari sebuah sensasi. Kembali pada kesejatian berita adalah suguhan fakta dan data. Menghimpun fakta utuh merupakan keniscayaan untuk merangkai kembali keping demi keping cermin menjadi utuh. Meskipun retak tak dapat dipungkiri, namun di situlah opini pembaca akan berkembang dalam memahami fakta.

Tugas wartawan menambal retak-retaknya dan membuat bingkai kesatuan warta. Kran informasi, kini bahkan lebih leluasa mengalir dengan kehadiran jurnalisme warga. Kita berharap, filosofi ilmu gajah di mata tuna netra tidak akan terjadi.

Selamat Hari Jadi SPNEWS yang ke-7 ! Membuka mata semua pihak tentu bukan hanya tanggung jawab insan SPNEWS, bahwa akselerasi perubahan pun harus melibatkan semua pihak.

SN 07/Editor