Ilustrasi
(SPNEWS) Jakarta, Tunjangan hari raya atau THR adalah pendapatan non upah yang wajib dibayarkan pemberi kerja kepada pekerja atau keluarganya menjelang hari raya keagamaan di Indonesia. Menurut Peraturan Menaker Nomor 6 Tahun 2016 tentang THR Keagamaan bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan, THR wajib dibayarkan paling lambat tujuh hari sebelum hari raya keagamaan.
THR pertama kali diusung pada era Kabinet Soekiman Wirjosandjojo dari Partai Masyumi pada tahun 1950-an. THR diberikan sebagai salah satu program pemerintah guna meningkatkan kesejahteraan pada aparatur sipil negara yang saat itu disebut sebagai pamong praja. Pada tahun 1950-an, besaran THR yang diberikan saat itu sebesar Rp 125 sampai Rp 200 per orang atau setara Rp 1,1 juta sampai Rp 1,75 juta saat ini. THR akan diberikan kepada pegawai pada akhir bulan Ramadhan.
Pada 13 Februari 1952, para buruh melakukan protes dengan mogok kerja dan menuntut pemerintah memberikan uang THR bagi para buruh. Pada saat itu awalnya pemerintah masih mengabaikan suara buruh. Akan tetapi, Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) terus berjuang meminta buruh mendapat THR sebesar satu bulan gaji.
Kemudian, kabinet Ali Sastroamidjojo, Perdana Menteri kedelapan Indonesia, mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1954 tentang Pemberian Persekot Hari Raja kepada Pegawai Negeri. Sementara itu, buruh gencar menuntut pemerintah. Karena tekanan itu, Menteri Perburuhan S.M. Abidin mengeluarkan Surat Edaran nomor 3676/54 mengenai “Hadiah Lebaran”.
Pemerintah juga mengeluarkan surat-surat edaran tentang THR pada rentang 1955-1958. Akan tetapi, karena hanya berupa imbauan, surat edaran ini belum memberi jaminan THR bagi buruh. Kemudian para buruh, utamanya SOBSI terus menuntut pemerintah. Suara buruh justru baru didengar ketika Soekarno menerapkan “Demokrasi Terpimpin”. Menteri Perburuhan Ahem Erningpraja di bawah Presiden Soekarno mengeluarkan Peraturan Menteri Perburuhan Nomor 1/1961.
Kemudian pemerintah mengeluarkan Permenaker Nomor 4 Tahun 1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi pekerja swasta di perusahaan. Belakangan, pemerintah kembali merevisi aturan THR pada 2016. Permenaker Nomor 6 Tahun 2016 mewajibkan perusahaan memberi THR bagi pekerja yang telah bekerja minimal satu bulan. Berkat perjuangan panjang demonstrasi buruh tersebut, kini THR bagi pekerja swasta telah jadi norma umum di masyarakat.
Pemerintah akhirnya secara resmi mengatur perihal THR secara khusus pada 1994. Aturan itu tercantum dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) RI No. 04/1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi Pekerja di Perusahaan.
Dalam Permenaker itu, disebutkan bahwa pengusaha wajib memberikan THR kepada para pekerja yang telah bekerja selama tiga bulan secara terus-menerus atau lebih. Besaran THR yang diterima pun disesuaikan masa kerja. Pekerja yang telah mempunyai masa kerja 12 bulan secara terus-menerus atau lebih menerima sebesar satu bulan gaji. Sedangkan pekerja yang mempunyai masa kerja tiga bulan secara terus-menerus tapi kurang dari 12 bulan diberikan secara proporsional dengan masa kerjanya, yakni dengan perhitungan masa kerja dibagi 12 dikalikan 1 (satu) bulan gaji.
Kementerian Ketenagakerjaan merevisi peraturan mengenai THR tersebut pada 2016. Perubahan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No 6/2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi Pekerja atau Buruh di Perusahaan. Disebutkan bahwa pekerja yang memiliki masa kerja minimal satu bulan sudah berhak mendapatkan THR.
Tak hanya itu, kewajiban pengusaha untuk memberi THR tidak hanya diperuntukkan karyawan tetap, tetapi juga untuk pegawai kontrak. Termasuk yang bekerja berdasarkan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) ataupun perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT).
Lebih lanjut, besaran THR yang diterima pekerja akan ditentukan berdasarkan masa kerja yang telah mereka lalui di sebuah perusahaan atau institusi. Bagi yang sudah memiliki masa kerja minimal 12 bulan atau lebih secara berturut-turut maka akan memperoleh THR sebesar upah atau gaji satu bulan yang terakhir diterima. Sementara itu, mereka yang memiliki masa kerja di bawah itu akan menerima THR yang besarannya bersifat proporsional.
Jika terlambat menunaikan kewajiban tersebut kepada para pekerjanya, perusahaan akan dikenai sanksi administrasi sebagaimana diatur dalam Permenaker Nomor 20 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pemberian Sanksi Administratif dan PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.
SN 09/Editor