Ilustrasi Pekerja Perempuan

Apa yang kamu pikirkan tentang buruh pabrik? Tentu saja jawabannya tergantung siapa yang menjawab. Bisa jadi para pengusaha akan mengatakan buruh itu identik dengan sekelompok perusuh yang suka melakukan aksi demonstrasi. Sedangkan bagi para politisi, buruh adalah sekelompok massa yang bisa membawa mereka untuk memperoleh suara setiap kali Pemilu tiba.

(SPNEWS) Dari tahun ke tahun, profesi buruh mengalami transformasi. Ada kemajuan yang bisa terlihat secara kasat mata. Pada tahun 1998, saat saya baru lulus SMA, menjadi buruh pabrik sama sekali tidak terbayang akan menjadi pekerjaan karena dinilai tidak bonafide. Akan tetapi sepertinya sekarang paradigma itu berubah. Buruh pabrik menjadi salah satu profesi primadona bagi lulusan SMK yang tidak akan melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Jamak kita temui, lulusan SMK dengan mengenakan pakaian hitam putih berbondong-bondong mendatangi pabrik dengan membawa surat lamaran pekerjaan. Mereka menyimpan harapan besar bahwa masa depannya bisa terajut di pabrik tersebut.

Apakah perubahan tren ini dikarenakan biaya pendidikan di perguruan tinggi semakin tidak terjangkau, sehingga lulusan SMK memilih bekerja dibandingkan melanjutkan pendidikannya? Atau karena menjadi buruh pabrik saat ini menjadi pekerjaan yang menjanjikan untuk masa depan? Pertanyaan itu akan menjadi sebuah cerita yang menarik ketika saya menanyakan kepada sahabat buruh saya.

Namaku Ika. Aku adalah buruh perempuan yang sudah mengabdi untuk perusahaan selama 15 tahun. Aku tidak pernah bercita-cita menjadi buruh pabrik. Aku pernah bermimpi bisa melanjutkan kuliah agar masa depannya bisa seterang mentari dan setinggi bintang di langit. Cita-cita tak selamanya menjadi nyata ketika nasib dan takdir berkata lain. Saat Aku lulus SMU, ibunya yang bekerja di sebuah restoran mengalami PHK. Tak berhenti sampai di situ. Ayahnya terkena diabetes. Penyakit ini sukses memaksa ayah untuk berhenti bekerja sebagai sopir bus antar provinsi. Keluarganya goyah. Tanpa penghasilan sama sekali. Aku yang sudah menyusun impiannya untuk bisa duduk di bangku kuliah harus menerima kenyataan bahwa semua itu tidak dapat terwujud. Faktanya, sehari-hari Aku harus melanjutkan hidup bersama kedua orangtuaku yang tidak bekerja. Dua orang adikku masih bersekolah. Tentunya membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk tetap tetap menjaga asa.

Sebagai anak sulung, siap atau tidak siap, Aku harus melanjutkan estafet perjuangan keluarga sebagai pencari nafkah. Aku harus melakukan sesuatu. Aku harus bekerja agar keluargaku tidak kelaparan. Agar adik-adikku tidak putus sekolah. Maka sang takdir pun membawanya sebagai buruh perempuan di pabrik komponen otomotif di daerah Cikarang. Tak banyak buruh perempuan yang bekerja di pabrik otomotif. Sebagai minoritas, rasanya terlalu sulit untuk mendapatkan kepercayaan guna membuktikan bahwa buruh perempuan pun mampu berkompetisi dalam hal melakukan pekerjaan-pekerjaan yang selalu menjadi dominasi buruh laki-laki. Misalnya bertanggung jawab terhadap mesin, melakukan setting mesin, maintenance dan lain-lain. Tugas yang diberikan kepada buruh perempuan tidak akan jauh dari perakitan, pemeriksaan, dan input data. Untuk jenjang karier pun buruh perempuan tidak bisa banyak berharap. Secara kuota tentu saja akan kalah, bahkan untuk mendapatkan kesempatan berkompetisi pun sulit. Hanya karena “perempuan”, seseorang selalu menjadi alasan klasik untuk membenarkan “pengucilan” terhadap kebebasan pengembangan diri untuk berprestasi.

Baca juga:  BURUH KOTA SEMARANG TUNTUT KENAIKAN UPAH 10 PERSEN

Dari rumahku yang terletak di Bekasi Barat, Aku harus menempuh waktu perjalanan selama dua jam agar bisa sampai ke pabrik yang ada di Cikarang. Saat matahari baru muncul di ufuk timur, Aku sudah ada di jalan dan kembali ke rumah saat malam tiba. Hari demi hari terus aku jalani. Lelah dirasakan tanpa mengeluh, karena aku sadar itu adalah tanggung jawab. Kehidupan keluarga yang tergantung kepadaku mengalahkan rasa lelah yang sering mendera diriku. Di dapur harus tetap ada makanan. Kedua adikku harus tetap bersekolah dan obat harus terbeli untuk bapakku.

Karena hasil kerjaku yang baik, perusahaan menawarkan promosi untuk naik menjadi staf office. Aku pun menerima tawaran tersebut karena aku ingin karierku bisa berkembang dan bisa memberikan kontribusi yang lebih maksimal untuk perusahaan. Promosi itu membuat aku harus beradaptasi dengan banyak hal baru, dari kondisi line produksi yang panas menjadi kondisi ruangan kerja yang full AC. Dari megang mesin menjadi megang komputer. Inilah bagian yang tersulit. Dengan kemampuan nol tentang komputer, aku harus berupaya keras mempelajarinya. Tapi ini menjadi tantangan baru buatku. Aku merasa harus kembali membuktikan bahwa buruh perempuan mampu berkompetisi.

Aku hanya seorang buruh perempuan yang juga ingin taraf hidupnya meningkat. Setapak demi setapak, selangkah demi selangkah, dia menaiki tangga masa depan. Pergi pagi pulang malam untuk keluargaku. Banyak hal yang aku korbankan untuk keluarga. Saat baru dua tahun bekerja, aku dilamar pacarku. Namun saat itu bukanlah waktu yang tepat bagiku. Adikku baru masuk SMA. Membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Rumah mereka juga harus segera dilunasi. Maka dengan berat hati aku menolak lamaran itu. Namun justru mengakibatkan hubungan mereka harus putus. Tak berselang lama mantan pacarnya itu menikah dengan perempuan lain.

Setelah satu tahun menjadi staf di office, aku ingin meningkatkan kemampuan intelektualnya. aku mendaftar ke perguruan tinggi yang membuka kelas karyawan. Namun baru satu semester aku menikmati bangku kuliah, kembali aku harus berkorban untuk keluarga. Adik pertamaku lulus SMA dan berkeinginan untuk melanjutkan ke universitas. Dengan gaji sebagai buruh pabrik yang menanggung kedua orang tua dan dua adik, tidak mungkin bisa membiayai kuliah dua orang. Harus ada yang mengalah. Dan kembali, aku memutuskan untuk mengalah. Biarlah mimpiku yang hilang. Toh, jika adikku sukses nanti, ia pun akan merasa bangga dan bahagia.

Baca juga:  MENCEGAH DISKRIMINASI, KEKERASAN DAN PELECEHAN SEKSUAL

Sang adik diterima kuliah di sebuah universitas negeri di Jakarta, jurusan akuntansi. Aku semakin bersemangat dalam bekerja. Semangat untuk lembur demi mendapatkan tambahan penghasilan. Apapun akan dia lakukan agar bisa membiayai kuliah adiknku sampai lulus. Dan terbukti perjuangannya selama lima tahun tidak sia-sia. Adikku bisa lulus S1 dengan IPK cumlaude.

Kehidupan sebagai tulang punggung keluarga bukan sesuatu yang mudah. Aku juga manusia biasa yang mempunyai keterbatasan fisik dan mental. Waktu yang aku punya hanyalah untuk bekerja. Harta yang aku punya hanyalah keluarga. Bekerja pagi hingga malam. Lelah yang tidak dirasa tiba-tiba terakumulasi menjadi kondisi kesehatan yang memburuk. Ia harus menerima kenyataan pahit menderita TB (tuberculosis). TB yang diderita menyerang otak. Jika TB menyerang paru-paru maka penyembuhan relatif cepat. Namun TB yang menyerang otak lebih sulit untuk diobati.

Selama dua tahun, Aku berjuang melawan penyakitnya. Keluar masuk rumah sakit. Setiap hari aku merasa tersiksa dengan harus mengonsumsi obat yang puluhan jumlahnya. Harga obatnya mahal. Untuk seorang buruh, tentu saja itu sangat berat. Hingga akhirnya aku mampu melewati ujian hidup. aku mampu bertahan dan sembuh dari penyakitnya. Aku tidak sudi dikalahkan oleh penyakit. Aku tidak mau langkah hidupku terhenti oleh penyakit. Setelah sembuh aku tetap bekerja dengan giat. Prestasiku di kantor membuat aku sekarang dipercaya menjadi staf bagian kualitas yang mengurusi dan mengontrol kualitas produk perusahaan. Meski sekarang aku sudah menikah, namun tongkat estafet pencari nafkah masih belum dilepas. Aku tetap harus memastikan biaya hidup untuk kedua orangtuaku tercukupi. Adikku yang bungsu pun harus bisa melanjutkan pendidikan sampai universitas. Cukup aku saja yang tidak bisa merasakan pendidikan di universitas. Adik-adikku harus bisa.

Sebagai buruh perempuan, aku belajar bahwa solidaritas itu tanpa batas. Nasib itu harus diperjuangkan. Jika untuk sesama buruh itu harus berlaku, apalagi untuk keluarga sendiri. Perjuangan hidup tidak akan pernah berakhir. Aku akan terus berjuang, bahkan, walaupun harus di luar batas kemampuanku. Bagiku, emansipasi bagi perempuan itu adalah perjuangan dan pengorbanan untuk orang-orang yang dicintai.

SN 07/Editor