(SPN News) Sanksi pidana dalam hubungan industrial dapat dijatuhkan kepada pekerja atau pengusaha apabila melakukan pelanggaran (kejahatan). Sebagian dari bentuk-bentuk sanksi pidananya antara lain: Dikenakan ancaman sanksi pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama lima tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 100.000.000,- dan paling banyak Rp. 500.000.000,- bagi pengusaha yang tidak mengikutsertakan pekerja yang mengalami PHK karena usia pensiun pada program pensiun dan tidak memberikan pesangon sebesar dua kali ketentuan, uang penghargaan, dan uang penggantian hak sesuai ketentuan (Pasal 184 Undang-Undang Ketenagakerjaan). Pidana denda paling sedikit Rp. 5.000.000,- dan paling tinggi Rp. 50.000.000,- bila memungut biaya penempatan tenaga kerja oleh perusahaan penempatan tenaga kerja swasta (Pasal 38 Undang-Undang Ketenagakerjaan).

Sebagai kejahatan dan diancam pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama empat tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 100.000.000,- dan paling banyak Rp. 400.000.000,- bagi pengusaha yang membayar upah lebih rendah dari ketentuan upah minimum (Pasal 90 Ayat 1 dan Pasal 185 Ayat 1 Undang-Undang Ketenagakerjaan). Pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama empat tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 100.000.000,- dan paling banyak Rp. 400.000.000,- bagi pengusaha yang tidak membayar kepada pekerja yang mengalami PHK yang setelah enam bulan tidak dapat melakukan pekerjaan sebagaimana mestinya, karena dalam proses perkara pidana, uang penghargaan masa kerja satu kali ketentuan dan uang penggantian hak sesuai ketentuan (Pasal 185 Undang-Undang Ketenagakerjaan).

Baca juga:  TOLAK UPAH MURAH, RIBUAN BURUH TANGERANG TURUN KEJALAN

Sanksi pidana pelanggaran dengan ancaman penjara paling singkat satu bulan dan paling lama empat bulan dan atau denda paling sedikit Rp. 100.000.000,- dan paling banyak Rp. 400.000.000,- bagi pengusaha yang :

a. Tidak membayar upah dalam hal pekerja tidak dapat melakukan pekerjaan karena sakit.

b. Tidak membayar upah pekerja perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua masa haid.

c. Tidak membayar upah kepada pekerja yang tidak masuk kerja karena pekerja :

     – Menikah

     – Menikahkan Anak

     – Mengkitankan/Membaptiskan Anak.

     – Istri/Anak/Menantu/Orangtua/Mertua/anggota keluarga dalam satu rumah meninggal

d. Tidak membayar upah pekerja yang sedang menjalankan kewajiban terhadap negara atau agama.

Baca juga:  EVALUASI PELAKSANAAN THR DI KABUPATEN CIREBON

e. Tidak mempekerjakan pekerja pekerjaan yang dijanjikan.

f. Memaksa pekerja untuk bekerja padahal pekerja sedang melaksanakan hak istirahat.

g. Memaksa pekerja untuk bekerja padahal pekerja sedang melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan (Pasal 186 Undang-Undang Ketenagakerjaan).

Dari paparan sanksi-sanksi tersebut diatas yang menjadi pertanyaan besarnya adalah siapakah sebenarnya yang bertanggung jawab untuk melakukan penindakan, apakah Menaker, Kepolisian, Kejaksaan atau Kehakiman???. Karena seperti yang kita baca baik di media cetak maupun elektronik pelanggaran-pelangaran hukum Ketenagakerjaan masih marak terjadi sedangkan penindakan hukumnya masih lemah bahkan ada kecenderungan untuk saling melemparkan tanggung jawab diantara institusi penegak hukum.

Shanto dari narasumber bapak Djoko Heriono Ketua Bidang Advokasi DPP SPN/Coed